Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Diskursus Politik Pembebasan Dalam Konteks Posisi Minoritas Dalam Pluralisme

23.23 Posted In Edit This 0 Comments »

Oleh: Dian T Indrawan

Ketua Program Konseling dan Pengorganisasian Komunitas Gay Matari Sehati Yogyakarta

Paradoks globalisasi dan politik internasionalisme terjadi karena menguatnya politik identitas[1]. Politik identitas berakar pada primordialisme. Primordialisme itu sendiri merupakan faham yang mengikuti konsep polity Aristoteles yang berarti “berperang ke luar” dan “konsolidasi ke dalam”. Politik identitas selalu merayakan konflik baik bersifat vis-à-vis maupun dialektik. Merayakan konflik berarti mendefinisi Diri sebagai ‘yang sama’ dan ‘yang lain’. Yang sama selalu bermakna mayor, sementara yang lain selalu bermakna minor. Politik identitas selalu berada di rentang ketegangan antara mayoritas dan minoritas. Dalam politik teori pluralisme, keberadaan minoritas berubah dari didiamkan dan dinafikan menjadi dipertanyakan sekaligus harus diperjuangkan. Keberadaan minoritas merupakan suatu hal yang faktual sudah tak dapat dipungkiri. Namun, “kesadaran” akan hal itu apakah setua keberadaannya? Kesadaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah kesadaran baik dari kelompok minoritas sendiri, maupun dari kelompok yang mengakui keberadaan kelompok minoritas. Kesadaran untuk sebagian besarnya adalah kerja rasio. Rasiolah yang membuat kategori. Rasio tidak sekadar menyadari perbedaan, namun bahkan membuat perbedaan. Rasio juga menyadari adanya kesetaraan, tetapi juga membuat kesetaraan. Rasio juga yang menyadari adanya ketidakadilan dalam relasi kategorial itu.

Demikian juga pluralitas sebagai realitas tidak bisa dipungkiri. Memang, secara filosofis, banyak pemikir yang justru menolaknya. Inti penjelasan dari saya, tanpa memperpanjang debat abadi para pemikir itu, yang terpenting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam tataran etis, pluralitas dan perbedaan itu sangat tidak adil jika dinafikan. Sementara, penghargaan terhadap perbedaan itu dijamin oleh adanya semacam idealitis bersama akan hakikat dan martabat yang sama, sebuah pengakuan akan hakikat ontologis yang sama. Di sana akan terjadi perjumpaan, komunikasi-dialogis, dan empati. Inilah yang semestinya menjadi roh dari pluralisme[2]. Dengan arti lain, kesamaan hakikat ontologis itu hanya terjadi melalui pengakuan akan keberbedaan. Sebagai contoh yang konkret adalah seorang wanita yang saya perlakukan secara adil dengan menghargai keberbedaannya dari saya, dan penghargaan itu didorong oleh adanya pengakuan tertinggi dalam diri saya bahwa secara ontologis dia adalah sama dengan saya. Akan tetapi kesamaan itu hanyalah sebuah asumsi hipotetis, sebuah keyakinan ontologis. Dengan itu, saya menghargai sang wanita sebagai “diriku yang lain”. Kesamaan ontologis itu hanya dapat dicapai dengan menghargai perbedaan itu, demikian juga penghargaan terhadap perbedaan tersebut hanya dapat terjamin dengan adanya keyakinan akan kesamaan ontologis.

Bukan merupakan suatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa diskursus tentang minoritas dan pluralisme ini menguat seiring lahirnya apa yang sering disebut sebagai “postmodernisme”. Atau dapat disebut dalam dua hal itulah tema kunci yang diusung oleh postmodernisme. Postmodernisme, yang dalam diskursus resmi lahir sejak keluarnya buku J.F. Lyotard, The Postmodern Condition (1979)[3], dalam menggugat keberadaan “narasi besar” yang mengarah pada klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan sentralisasi. Mengapa narasi? Lyotard menggambarkan relasi sosial manusia melalui konsep bagaimana dunia dipresentasikan ke dalam pelbagai konsep, ide, gagasan, dan cerita lewat interpretasi terhadap dunia tersebut, yang membentuk “kesadaran kolektif” tentang sebuah dunia baik itu besar maupun kecil. Gugatan terhadap pandangan dominan yang selain mengedepankan “universalitas” dan berwatak “totaliter”[4] terhadap dunia ini berarti mengizinkan tampilnya “narasi-narasi kecil”, yaitu narasi-narasi heterogen, yang diceritakan di dalam institusi-institusi lokal yang plural, dengan aturan main, keunikan dan determinasinya sendiri. Gugatan terhadap narasi besar di satu sisi dan pengakuan terhadap narasi kecil di sisi lain, dengan demikian, berarti pengakuan terhadap realitas plural. Pengakuan ini kemudian, menjadi sebuah kesadaran rasional dan telah menjadi sebuah pandangan hidup. Itulah yang dinamakan pluralisme.

Pluralitas, Pluralisme dan Permasalahan yang Ada

Berbeda dengan pluralitas sebagai realitas faktual, pluralisme adalah soal realitas kesadaran akan realitas faktual itu. Kesadaran dalam konteks ini berarti cara pandang, cara hidup, dan idealisme serta pengakuan akan realitas tersebut. Dalam bahasa Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen[5], berbicara tentang pluralisme semestinya ditempatkan pada dua tataran: tataran deskriptif, yang sekadar mengakui keragaman dan tataran normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif, pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik dari faktor kondisi awal masyarakatnya yang sudah majemuk maupun dari faktor proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Menurut Mouw dan Griffioen, pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga ranah keragaman yaitu: konteks budaya, asosiasi-asosiasi kelembagaan, dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia[6]. Diskursus pluralisme yang di bingkai dalam teori postmodernisme bukan hal yang tanpa memiliki masalah. Masalah tersebut berupa keprihatinan etis yang tersembunyi di balik teori-teori kaum postmodernis. Keprihatinan etis dapat diperiksa dalam dua kata kunci postmodernisme yang telah memprovokasi pluralisme dan pluralitas itu, yaitu: incommensurability dan the other[7].

Incommensurability (ketaktersandingan), seperti yang telah diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Kuhn ke dalam publik akademis dalam kaitan dengan paradigma-paradigma yang berkompetisi dalam sains[8], adalah masing-masing paradigma itu tidak bisa sepakat mengenai suatu hal. Pilihannya hanya antara bertahan, yang berarti membiarkan hal yang ditilik itu tetap dilihat secara berbeda sampai kapan pun. Jika masing-masing tetap mempertahankan pendiriannya, pluralitas memang dirayakan namun tidak memiliki komunikasi, dialog, apalagi perjumpaan. Di sini tumbuh subur dua sikap ekstrem. Pertama adalah sikap acuh tak acuh: silahkan Anda melakukan apa yang Anda suka dan anggap semua baik dan benar, saya juga demikian. Kedua adalah pertarungan kekuatan: di sini terjadi bahaya Hobbesian “bellum omnium contra omnes”, semua berperang melawan semua. Sikap ekstrem pertama tentu saja tidak manusiawi dan tidak etis, sementara sikap ekstrem kedua justru melahirkan ketidakadilan dalam bentuk dominasi, hegemoni, dan opresi melalui situasi yang chaotic. Kemungkinan kedua adalah, sebagai varian dari sikap ekstrem kedua di atas, salah satu takluk secara sukarela pada yang lainnya. Baik pada sikap ekstrem kedua maupun kemungkinan penundukan sukarela, pluralitas yang dirayakan itu justru kemudian berakhir pada monisme, kebenaran tunggal. Irasionalitas pluralisme ini semakin berbahaya di tangan para pembela pandangan relativisme absolut yang sama tidak rasionalnya juga. Klaim relativisme absolut yang menafikan adanya suatu “kebenaran bersama” dengan mengatakan bahwa “kebenaran itu bersifat relatif” justru sebaliknya yang bersifat self-defeating: pernyataan itu menghancurkan dirinya sendiri.

Sebagai teori, pluralisme memang masih harus diperdebatkan secara serius. Yang jauh lebih penting untuk diangkat adalah keprihatinan etis yang berada di balik klaim-klaim pluralisme. Yang akan ditolak oleh klaim pluralisme adalah bahaya totaliter di balik klaim kebenaran tunggal narasi besar yang berwatak universal, netral, niscaya, objektif dan melampaui sejarah dan konteks. Karena itu, para pendukung pluralisme mengedepankan narasi kecil yang menghargai interpretasi yang berlainan. Di sinilah terletak pengakuan dan penghargaan terhadap yang lain. Inilah kata kunci yang kedua postmodernisme yang menyulut pluralisme. Mengakui yang lain dalam keberlainannya, hanya terjamin sejauh aku merasakan yang sama di dalam diri yang lain tersebut. Berhadapan dengan yang lain merupakan hal yang dapat mendatangkan ketakutan, tetapi juga sikap altruistik yang berlebihan. Misalnya; saya takut dengan ular, karena ular lain sekali dengan saya. Saya sayang dengan anjing peliharaan saya, meskipun ia lain sama sekali, tetapi anjing menjadi sarana pelampiasan naluri altruistik saya yang narsistik. Mencintai anjing peliharaan itu ekspresi narsisme yang hipokrit, karena saya mencintainya tanpa perlawanan darinya. Cinta tanpa perlawanan adalah bentuk hipokrit dari cinta diri yang berlebihan. Cinta narsistik ini kemudian di zaman modern ini bertransformasi menjadi cinta pada mainan. Cinta tanpa perlawanan. Jika sesama manusia dipandang sebagai yang absolut lain, maka tidak akan ada perjumpaan dan komunikasi sejati. Yang ada hanyalah ketakutan, dan karena itu kepedulian menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Selain takut, juga ada hegemoni dan dominasi yang berangkat dari naluri altruistik-narsistik.

Posisi dan Status Minoritas dalam Pluralisme

Siapakah yang disebut-sebut sebagai minoritas? Dari kaca mata sosiologi, yang dimaksudkan dengan minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut[9]: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar. Sementara dari kaca mata filsafat politik yang dibingkai dalam diskursus multikulturalisme, sejalan dengan tiga macam pluralisme yang diajukan Mouw dan Griffioen pada tataran normatif-preskriptif – Will Kymlicka, dengan bertolak dari subjek hak yang bukan melulu individu sebagaimana menjadi arus utama dalam teori politik liberal melainkan kolektif, membagi kelompok minoritas atas tiga yaitu: (1) gerakan-gerakan sosial baru yang meliputi gerakan kaum LGBTQI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual, Queer, dan Interseksual), kaum miskin perkotaan, para penyandang cacat, feminis, kelompok-kelompok atau aliran kepercayaan dan agama “baru”, dll; (2) minoritas-minoritas nasional yang meliputi etnis bangsa yang dulunya berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri-sendiri namun kemudian melebur menjadi satu “bangsa”; dan (3) kelompok-kelompok etnis yang meliputi kaum imigran yang meninggalkan komunitas nasionalnya di negeri asalnya dan masuk ke komunitas masyarakat lainnya yang mayoritas seperti etnis Tionghoa dan Arab di Indonesia, dll[10].

Eksistensi ketiga kelompok ini membawa tuntutan masing-masingnya berupa hak spesifik, yaitu: hak untuk mendapatkan perwakilan khusus dalam lembaga politik bagi kelompok gerakan sosial baru; hak untuk menentukan nasib sendiri atau otonomi penuh bagi minoritas nasional; dan hak-hak polietnis untuk tetap menghayati budaya dan keyakinan mereka yang dijamin oleh sistem hukum dan politik yang toleran. Di samping hak-hak spesifik tersebut, kelompok minoritas juga berhak untuk menikmati hak-hak mereka sebagai manusia dan hak sebagai warga negara (dalam konteks politik), sama seperti kaum mayoritas. Kategori dan pengelompokan minoritas yang berkembang hingga kini yang lebih bersifat kuantitatif. Kendati sulit menentukan alat ukurnya, adalah pengelompokan yang bersifat kualitatif, selain kuantitatif. Sebagai misal, kaum perempuan yang secara kuantitaf merupakan mayoritas di negeri ini, secara kualitatif justru merupakan minoritas. Namun, meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa keberadaan kelompok yang mungkin merasa belum termasuk di antara ketiganya tidak diakui. Pesan dari pegelompokkan dengan perspektif hak sosio-kultural dan sosio-politik ini adalah bahwa siapa pun dan apa pun kelompok minoritas itu, baik bertolok ukur kuantitatif maupun kualitatif, ia mempunyai hak baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Penegasan ini menunjukkan status ontologis mereka sebagai yang lain dari yang sama namun tetap sama dengan yang lain. Namun, kesamaan status ontologis yang lain itu dengan yang sama tidak serta merta bermakna adanya perlakuan yang sama. Jika perlakuan yang sama malah berbuah ketidakadilan dan diskriminasi baik gender ataupun hak asasi, maka perlakuan berbeda justru menjadi suatu tuntutan. Perlakuan berbeda yang dimaksud adalah perlakuan yang bersifat istimewa, mendahulukan, dan menguatkan suatu tindakan.

Karena itu, posisi minoritas dalam konstelasi sosial dan konfigurasi struktur politik, dengan diletakkan dalam bingkai pluralisme yang toleran dan komunikatif, serta harus tetap mengacu pada status ontologis mereka sebagai alter ego dari yang sama, namun tetap menghargai ke-yang-lain-annya. Politik demokratis adalah politik yang memenuhi prinsip-prinsip etis. Prinsip etis mengedepankan otonomi dan kebebasan yang menjadi nyata dalam penghargaan terhadap pluralisme. Politik pluralisme adalah politik afirmasi dan keberpihakan pada yang lemah.

Kesimpulan dari Politik Pembebasan

Setelah membahas tentang diskursus politik pembebasan dalam pluralisme Indonesia, secara epistemologis, beserta posisi dan status minoritas. Juga sudah terselip keprihatian etis dan imbauan moralnya. Apakah masyarakat etis, adil dan toleran dengan sendiri tercipta? Kemungkinan besar jawabannya tidak. Yang diperlukan adalah suatu “tindakan politik”. Tindakan politik yang dimaksud adalah tindakan politik pembebasan. Politik pembebasan yang menimba inspirasinya pada Karl Marx, adalah “politik kesadaran”. Politik kesadaran berarti politik kritis yang siap menyingkap tabir-tabir ideologis di balik praktik-praktik penindasan dan totaliter, hegemoni dan dominasi. Politik kritis, yang merupakan implikasi praksis dari “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt school, yang berarti politik praksis. Politik praksis, berbeda dari pandangan umum, atau yang merupakan politik wacana dan gerakan secara bersama-sama. Jadi, politik pembebasan ini adalah politik kesadaran, politik kritis, politik praksis, atau pun politik wacana yang gerakan secara bersama-sama. Tidak ada jalan lain bagi pembebasan kaum minoritas dari hegemoni dan dominasi mayoritas selain melancarkan politik wacana yang kritis dan politik gerakan yang stimulan tetapi tetap toleran. Intoleransi hanya berakibat pada irasionalitas dari gerakan itu sendiri. Toleransi yang beradab bertahta pada tindakan komunikasi yang dialogis dan emansipatoris.



[1] Devereux,Eoin. 2003. Understanding The Media. Pg. 42

[2] Terre, Eddy. 2004. Diskursus Politik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 24-25.

[3] F.J. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Minnesota: The University of Minnesota. Page. 235-236.

[4] Lyotard, ibid., hlm. 45

[5] Richard J Mouw dan Sandra Griffioen, Pluralisms and Horizons: An Essay in Christian Public Philosophy, MI: Eerdmans Pub Co., 1993. Page. 345-350

[6] Sandra Griffioen, Pluralisms: An Essay in Christian Public Philosophy, MI: Eerdmans Pub Co., 1993. Pg. 33.

[7] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, Bab 12: “Pluralisme dan Komunikasi”, hlm. 197-199.

[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: Chicago University Press, 1970, hlm. 150.

[9] Anthony Giddens, Sociology, second edition fully revised and updated, Cambridge: Polity Press, 1995, hlm. 253-254.

[10] Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2003. Hal 25-28

0 comments:

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search