Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Kampanye LGBT Dalam Dunia Islam di Era Modern

19.29 Posted In , Edit This 0 Comments »

Gerakan liberalisme dalam Islam memasuki tahap baru. Umat Islam dipaksa meyakini kehidupan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trans-gender (LGBT) sebagai hak yang harus diperjuangkan. Di depan mahasiswa Columbia University di New York, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pernah menyatakan, "Tidak ada komunitas LGBT di Iran." Tapi tak lama setelah pernyataan itu, sebuah film berjudul A Jihad for Love yang menyeru dan mensosialisasikan komunitas LGBT dalam Islam justru berhasil menyabet penghargaan di Festival Film Internasional Toronto, Kanada, akhir 2007 silam. Dalam film dokumenter tersebut, sutradara Parvez Sharma mengumpulkan kesaksian dan kisah nyata kehidupan komunitas LGBT terutama kaum homoseksual (gay dan lesbian) di negara-negara Islam, Iran, Mesir, Arab Saudi, Bangladesh, Pakistan, Afrika Selatan dan yang lainnya. Tak pelak lagi, film berdurasi 81 menit ini menjadi sebuah tamparan keras bagi Presiden di Negeri Mullah ini.

Namun, ada yang lebih penting dari sekedar kekecewaan Ahmadinejad terkait kaum LGBT di negaranya, yaitu kampanye LGBT di dunia Islam. Dari waktu ke waktu, meminjam pernyataan Adian Husaini, gerakan liberalisasi nilai dan ajaran Islam di dunia sudah sampai pada tahap yang menjijikkan. Barat menyebut A Jihad for Love sebagai flm dokumenter pertama di dunia yang berhasil memotret harmonisasi Islam dengan komunitas LGBT. Film yang mengambil latar di 12 negara Muslim dan diterjemahkan ke sembilan bahasa berbeda itu dibuat untuk mereklamasi konsep perjuangan suci menjadi sebuah perjuangan pribadi kaum homoseks untuk diakui. Dalam film yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Arab, Persia, Urdu, India, Perancis dan Turki itu, Sharma menolak dengan tegas asumsi bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyimpangan, menjijikkan dan memalukan. Sharma justru ingin menyampaikan perlindungan untuk kaum pecinta sesama jenis dan menempatkannya sebagai kaum yang harus dihargai, dibela serta diterima dalam masyarakat apa adanya.

Film yang dirilis Sharma ini bukannya sepi dari kritik. "Hampir setiap dua pekan saya menerima email yang berisi cacian, mereka mengutuk saya masuk neraka. Ada juga yang menyampaikan secara lembut, meminta saya untuk merilis permohonan maaf selagi ada waktu," ujar Sharma. Penolakan dan demonstrasi menentang pemutaran film berdurasi 81 menit itu terjadi di mana-mana. Di Singapura, Festival Film Internasional 2008 melarang pemutaran film biadab tersebut. "Judul yang ditawarkan film tersebut sangat sensitif, karena mrncoba untuk memotret perjuangan kaum homoseks di berbagai negara untuk mendamaikan antara agama dengan gaya hidup mereka," tandas Ketua Dewan Sensor Film Singapura sebagaimana dilansir The Straits Times. Dalam wawancaranya dengan harian Al-'Arabiyya, Oktober 2007 silam, Sharma mengungkapkan, filmnya ditujukan kepada kaum Muslimin di seluruh dunia. Film tersebut, merupakan alat untuk membuka dialog dan melepaskan tabu homoseksualitas di dunia Arab dan Islam.

Padahal, tak ayal lagi, hadirnya film tersebut memompa semangat kaum LGBT untuk memperjuangkan hak hidup dan mengubah asumsi aib orientasi yang mereka miliki. Kini, setiap gay dan lesbian Muslim begitu gigih memperjuangkan persamaan hak hidup dan menghapus citra buruk homoseks yang selama ini telah mengakar. Jelas, Film besutan Sharma menjadi sebuah ancaman moral dan liberalisasi yang sangat serius. Tak sedikit kalangan yang menyebut film tersebut sebagai film "pesanan". Pasalnya, perjuangan kaum LGBT untuk hidup damai disambut baik dan difasilitasi negara-negara barat. Kanada, misalnya, kini telah memberikan suaka kepada lima warga Iran yang terlibat cinta sesama jenis dan hidup damai di sana. Bahkan tiga di antara mereka kini menjadi aktivis penuntut hak-hak asasi kaum homoseks dan didanai untuk mendirikan kelompok khusus kaum lesbian dan gay Muslim. Eropa boleh dibilang angin segar bagi kaum LGBT yang mencari pengakuan eksistensi. Beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Belgia, mengakui bahkan melegalkan pernikahan sesama jenis. Keberhasilan kaum LGBT dalam me-goal-kan agenda mereka tidak terlepas dari kultur liberal yang sudah berurat akar.

Bagaimana dengan negara-negara Arab? Tidak jauh beda dengan Eropa, hanya saja, para aktivis pecinta sesama jenis atau lebih sering memperjuangkan aspirasinya dengan amunisi ekstra. Karena, dunia Arab memiliki kultur Islam yang kental. Namun bukan berarti kampanye dan fenomena LGBT tidak pernah ada di jazirah Arab. Dalam cuplikan A Jihad for Love diceritakan sepasang lesbian, Maha dan Maryam, yang digambarkan sebagai dua pemudi berjilbab panjang dan taat beragama. Jika kita telusuri lebih jauh fenomena LGBT di Timur Tengah rupanya hanyalah fenomena gunung es. Yang menyembul kepermukaan hanyalah bagian kecil. Jauh di bawah permukaan laut, kita akan menemukan fenomena yang jauh lebih menyeramkan. Di Indonesia sendiri, kampanye LGBT digawangi oleh Prof. Dr. Musdah Mulia, guru besar UIN Jakarta. Di harian The Jakarta Post edisi Jumat (28/03), Musdah Mulia menulis bahwa komunitas LGBT dan homoseksualitas adalah alami yang diberikan Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap komunitas LGBT oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempat terhadap ajaran Islam.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Arus Pelangi di Jakarta pada Kamis 27/03 silam, Musdah Mulia mengatakan, "Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya." Sebelumnya, dari Semarang, sekelompok mahasiswa di Fakultas Syariah Islamiyah, IAIN Semarang, menerbitkan buku bertajuk 'Indahnya Kawin Sesama Jenis'. Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisasi perkawinan homoseksual. Bahkan, dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia. Pertama, mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara. Kedua, memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fitrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya.

Ketiga, melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual. Keempat, menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita. Pendapat yang dicetuskan Musdah Mulia dan para mahasiswa IAIN Semarang menjadi pendapat yang paling aneh yang pernah muncul. Sebelumnya, betapa sekuler dan liberalnya pendapat liberalis dan sekularis, tidak sampai menyerukan homoseksual dan kawin sesama jenis. Selain melalui tulisan, kampanye homoseksual juga disebarkan melalui media audio-visual semisal film. Beberapa waktu lalu, layar bioskop tanah air sempat diwarnai film 'Coklat Stroberi' yang mengangkat cerita pasangan biseksual anak muda, lengkap dengan segala persoalan yang mereka hadapi, terkait dengan identitas diri mereka. Ini belum lagi ditambah dengan sosok-sosok transgender alias waria yang hampir muncul setiap hari di layar televisi. Jika terus dibiarkan, tak mustahil fenomena yang terjadi pada tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong akan meruyak di Indonesia. Seorang TKW pernah menuturkan pengamatannya tentang fenomena ini. Sejumlah tenaga kerja wanita asal Indonesia (TKW) yang bekerja di Hongkong mulai banyak yang menyadari atas "pernikahan" sesama jenis (lesbian).

Tania Roos, salah seorang TKW asal Malang dalam surat elektroniknya kepada ANTARA News di Surabaya, Senin, menjelaskan bahwa perkawinan lesbian mulai marak setahun terakhir dan awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. "Bahkan memasuki acara mereka ada tanda khusus, apakah mereka kalangan sendiri atau orang lain. Saya bisa masuk ke perkawinan mereka dan mendapatkan fotonya karena saya berpura-pura menjadi pasangan lesbian," katanya. Padahal, berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadist, pengharaman Islam terhadap homoseksual tak pernah berubah. Di tambahkan lagi, ijma' para ulama Islam salafuna al shalih menyebut homoseksualitas sebagai hubungan terlarang yang dikenakan hukuman rajam dan cambuk. Hal ini dapat dilihat di kitab-kitab fiqih klasik semisal al-hidaayah syarhul bidaayah, fathul qadiir, al-haawi al-kabiir, al-mughnii dan al-inshaaf. Logika yang dipakai untuk membenarkan LGBT tak lain hanyalah hak asasi manusia dan demokrasi, yang sejatinya adalah representasi dari nafsu syahwat belaka. Tentang hal ini Nabi Muhammad saw memberi peringatan yang sangat keras, "Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.' (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaki).

MENGUSUNG LESBI KELILING INDONESIA

SEKULARISME, pluralisme dan liberalisme merupakan virus-virus yang dijajakan agen-agen Barat ke berbagai negara Muslim di dunia. Begitu pula halnya dengan homoseksualitas. Disinyalir, dalam daftar nama pendatang baru juru kampanye virus cinta sesama jenis terdapat nama Irshad Manji. Irshad Manji adalah seorang feminis Muslim berkebangsaan Kanada yang digadang-gadang sedang diorbitkan untuk meramaikan rimba liberalisasi nilai-nilai dan ajaran Islam di negara-negara Muslim. Dia merupakan sosok pemikir nyeleneh yang "komplit". Betapa tidak, selain intens dengan proyek liberalisasi, wanita kelahiran Uganda itu juga secara terbuka mengatakan dirinya lesbian. Dia mengungkapkan, sesaat setelah lulus S-1 dari University British of Colombia, dirinya mengawali karir sebagai penulis, penyiar radio dan meyakini dirinya bukanlah seorang heteroseksual. "Sungguh mengejutkan ternyata saya jatuh cinta dengan wanita," ujar dia tanpa tedeng aling-aling. Selanjutnya, penulis buku 'The Trouble with Islam Today: A Muslim's Call for Reform in Her Faith' itu berkontribusi banyak dalam mengangkat kehidupan kaum LGBT di Kanada. Ditegaskannya, pada 1998, dia dipercaya sebagai produser sekaligus pembawa acara sebuah program QueerTV, sebuah stasiun televisi komersial pertama di dunia yang mengetengahkan kehidupan kaum LGBT.

Pada 16 Oktober 2004 silam, Henry Makow Ph. D menulis sebuah artikel yang menyebut Manji sebagai 'Lesbian Muslim Reformer is a New World Orderly'. Makow menulis, "These days the champions of freedom, diversity, human rights and tolerance wear a deceptive face. One such face belongs to Irshad Manji." Baru-baru ini, melalui Proyek Keberanian Moral (The Moral Courage Project) yang diketuainya, Manji yang juga sahabat dekat penulis Novel Ayat-ayat Setan Salman Rushdie itu menyambangi Indonesia guna melakukan diskusi dengan kalangan akademisi, organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa. Bahkan di Indonesia bukunya telah diterbitkan dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut. Di Yogyakarta, peraih penghargaan 'Feminist for the 21st Century' dari Ms Magazine itu berkesempatan berdiskusi dengan civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), ormas perempuan di Pesantren Krapyak. Tak sedikit kalangan yang curiga dengan kehadirannya ke Indonesia. Kehadirannya menuai kontroversi. Wajar kiranya jika kita bertanya apa motif kedatangannya ke Indonesia, siapa orang yang mendanai proyeknya dan lembaga mana yang mengutusnya?

Sumber: Arsip Dokumentasi Matari Sehati Yogyakarta.

0 comments:

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search