Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Ucapan

11.23 Posted In Edit This 0 Comments »

Homoseksualitas

16.28 Posted In , , , Edit This 0 Comments »

Oleh. Dian T Indrawan[1]

Seksualitas memiliki beberapa komponen, salah satunya adalah orientasi seksual, dalam orientasi seksual ini kita menemukan konsep homoseksual dan heteroseksual. Orientasi seksual adalah ketertarikan yang bersifat abadi secara emosional, romantis, dan afeksional kepada manusia lain. Orientasi seksual bersifat kontinum yaitu memiliki jenjang-jenjang dari satu ekstrim ke ekstrim lain atau dari exclusive heterosexuality (hanya menyukai lawan jenis), sampai ke exclusive homosexuality (hanya menyukai sesama jenis). Tepat ditengah kontinum, terdapat orientasi biseksual. Orang yang pertama kali menemukan konsep kontinum ini adalah Alfred Kinsey. Dia membuatnya ke dalam skala Kinsey, dimana angka 0 artinya exclusive heterosexual dan 6 adalah exclusive homosexual dan 3 adalah equally homosexual and heterosexual atau sering disebut sebagai biseksual (dimana dalam film Kinsey digambarkan bahwa saat Kinsey pertama kali menceritakan skala ini pada murid prianya, sang murid pria mengatakan bahwa ia homoseksual dan Kinsey lalu menyadari dia biseksual, lalu mereka berciuman.

Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual, karena orientasi seksual adalah perasaan dan konsep diri, bukan perbuatan. Seseorang mungkin saja tidak melakukan kegiatan seksual yang sesuai dengan orientasi seksualnya (atau sama sekali tidak melakukan hubungan seks). Orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kognitif dan biologis. Artinya, bagaimana seseorang dibesarkan, pola pikir orang tersebut dan struktur genetis dan hormonal yang didapat sejak seseorang berada di dalam kandungan mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Orientasi seksual seseorang pada umumnya muncul pada awal masa remaja[2].

Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi orientasi seksual seseorang, APA (American Psychological Association) menyimpulkan bahwa manusia TIDAK BISA MEMILIH orientasi seksual mereka (apakah mereka straight alias heteroseksual, gay alias homoseksual, atau biseksual).

Komponen Seksualitas Lain Di Samping Orientasi Seksual

Struktur seks biologis, yaitu alat kelamin (penis atau vagina). Gender Identity: Perasaan seseorang apakah ia seorang pria atau wanita, karena bisa saja seseorang yang memiliki penis sebenarnya merasa bahwa ia adalah seorang wanita. Social Gender Role: peran yang diberikan (dan diharapkan) oleh budaya mengenai perilaku apa yang dianggap maskulin dan perilaku apa yang dianggap feminin. Misal, di kebudayaan Amazon, wanita mengerjakan semua pekerjaan, bahkan yang bersifat maskulin (misal, membangun rumah dan menjaga daerah mereka) karena para pria tinggal di hutan dan hanya datang pada musim kawin[3].



[1] Counselor Matari Sehati Yogyakarta dan Creative Director LIDI Management

[2] Dikutip dari pedoman pelatihan TOT PKBI DIY, 2008

[3] Crooks & Baur. Our Sexuality.

Kekerasan Terhadap Perempuan Bukti Diskriminasi Gender

16.25 Posted In , Edit This 0 Comments »

Oleh. Dian T Indrawan[1]


Maraknya isu “Kekerasan terhadap perempuan”, menjadi rangkaian kosakata yang cukup populer dalam beberapa tahun belakangan ini, telah memasuki wilayah yang paling kecil dan eksklusif, yaitu keluarga. Sangat ironis, di tengah-tengah masyarakat yang katanya ‘modern’, karena dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme yang secara teori seharusnya mampu menekan tindak kekerasan namun justru budaya kekerasan semakin menjadi fenomena yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain yang keseluruhannya adalah wadah budaya kekerasan.


Di AS sendiri yang konon Negara pengusung HAM, justru menunjukan laporan yang cukup mengejutkan. Andrew L. Sapiro dalam bukunya berjudul Amerika No.1 menyebutkan “Kita no.1 dalam kasus pemerkosaan yaitu 114 per 100.000 penduduk.” Departemen Kehakiman AS sampai akhir 1992 menyebutkan bahwa 20% pemerkosa adalah bapaknya sendiri, 26% orang dekatnya, 51% orang yang dikenalnya, 4% orang yang tidak dikenalnya. Ini fakta tahun 1992, bagaimana dengan sekarang? Senada dengan kondisi di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun. Catatan tahun 2004, misalnya, menyebut 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil di-monitoring. Dari hasil keseluruhan terdapat 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 kasus adalah kasus KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri sebanyak (75%), kekerasan terhadap anak perempuan (10% ), dan kekerasan terhadap keluarga lainnya (1%). Pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, pacar, ayah, kakek, dan paman[2].


Setiap tanggal 25 November, masyarakat dunia memperingati hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Hari itu merupakan momen untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Issue tersebut diterjemahkan dengan cepat oleh pemerintah Indonesia dengan menggagas ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’ melalui UU No. 23 tahun 2004, yang disandarkan pada Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan’ (20 Desember 1998). Pada Konferensi Perempuan Internasional di New York, ditandatangani Konvensi Internasional tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (awal Maret 2000). Menurut kacamata gerakan feminis, kekerasan terhadap perempuan yang mereka bahasakan dengan kekerasan berbasis jender merupakan hasil bentukan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat patriarki[3]. Menurut mereka, di Indonesia secara histories sudah mengusung pelembagaan kekerasan jender sejak dulu masa kerajaan, yaitu dengan berlakunya norma kepatuhan dan komoditi di tengah-tengah masyarakat (Jurnal Perempuan, ed. 09).


Keadaan inilah yang mereka anggap semakin memperkokoh ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Apalagi kebijakan pembangunan dalam seluruh aspeknya selama ini lebih banyak memihak kepada laki-laki. Adapun kebijakan yang berkenaan dengan perempuan cenderung mengarah pada pemberdayaan perempuan sebagai ibu dan istri saja. Akhirnya, posisi perempuan semakin terpinggirkan, terutama dalam hak-hak sosial, ekonomi dan politik; mereka selalu menjadi orang nomor dua setelah laki-laki, baik dalam sektor privat (keluarga) maupun publik (masyarakat). Kondisi ini sering berujung pada penuduhan terhadap Islam yang dianggap lebih memihak laki-laki dan bersifat misoginis[4].


Inilah yang menjadi penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Mereka bahkan menuduh norma agama khususnya Islam turut mendukung langgengnya budaya kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, seperti hukum Islam seputar kebolehan seorang suami berpoligami, wajibnya seorang istri meminta izin suami ketika keluar rumah, kebolehan suami memukul istrinya ketika ia nusyƻz, atau keharusan seorang istri melayani suaminya ketika ia menginginkannya, dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa kekerasan tidak ada kaitannya dengan masalah jender (berbeda dengan jenis kelamin), karena kekerasan tidak hanya menimpa kaum perempuan, tetapi juga menimpa kaum laki-laki, baik di dalam atau pun di luar rumah tangga. Menurut Islam aliran keras menjelaskan bahwa kekerasan terkait dengan jender adalah pandangan yang sangat keliru. Itu hanyalah pandangan kaum feminis yang mengukur kejahatan berdasarkan jender, pelaku dan obyeknya. Mereka membela pelacuran ketika perempuan menjadi korban. Dalam keseharian memang tempat portitusi merupakan suatu tempat dimana banyak korban kekerasan dalam segi finansial.



[1] Counselor Matari Sehati Yogyakarta dan Creative Director LIDI Management

[3] sistem yang didominasi dan dikuasai oleh laki-laki

[4] Tindakan yang lebih mengarah pada kebencian terhadap perempuan

Kesehatan Reproduksi: Peran Laki-laki dalam Program Keluarga Berencana (KB)

16.20 Posted In , , Edit This 0 Comments »

Oleh. Dian T Indrawan[1]


Dalam upaya mewujudkan visi dan misi program KB pada era globalisasi, reformasi dan demokratisasi akan selalu mengacu dan memperhatikan perubahan lingkungan strategis serta isu-isu penting yang berkembang dimasyarakat seperti hak-hak reproduksi remaja, pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan jender, kemiskinan dan hak asasi manusia. Berpijak pada kesadaran bahwa program KB adalah tanggungjawab dan panggilan tugas kita bersama yang merupakan program jangka panjang, karena dampaknya baru bisa dirasakan beberapa dasa warsa kedepan, maka kalau berhasil yang akan menikmati adalah kita dan anak cucu kita, namun sebaliknya kalau sampai gagal, tentunya juga kita dan anak cucu kita kelak yang akan merasakan akibatnya.


Pelaksanaan program KB di Yogyakarta sendiri menunjukan hasil yang cukup baik, hal ini bisa dilihat dengan semakin meningkatnya pemahaman dan diterimanya program KB dimasyarakat. Ini semua tidak terlepas karena adanya dukungan serta komitmen politis yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat dan penerapan sistim manajemen KB secara baik dan konsisten hingga ketingkat lini lapangan. Pelaksanaan program ini di Yogyakarta sampai dengan saat ini secara kwantitatif menunjukan hasil yang menggembirakan, hal ini bisa dilihat dari kesertaan KB aktif sampai Desember 2007 mencapai 78,88 % dari Pasangan Usia Subur yang ada, hal tersebut berpengaruh besar terhadap penurunan tingkat kelahiran di Yogyakarta menjadi 2,19 anak per perempuan usia subur (dasar perhitungan dari hasil Pendataan Keluarga Th. 2007), sehingga angka pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun cenderung terus menurun (berdasarkan data BPS tahun 2005 angkanya sebesar 0,99 %). Sementara kondisi sampai periode 1970 sebesar 5,33 %[2].


Permasalahan yang menonjol dalam pelaksanaan program KB secara nasional termasuk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah masih rendahnya tingkat partisipasi pria dalam ikut menjaga kesehatan reproduksi pasangannya. Kita mungkin akan terkesima manakala menyimak kesertaan pria dalam program KB. Rendahnya partisipasi pria dalam menggunakan alat kontrasepsi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain berkaitan dengan organ reproduksi dan biologis pria, karena pengendalian kemampuan reproduksi pria lebih sulit dikendalikan sebab pria selalu dalam keadaan subur dan banyaknya sperma yang dihasilkan. Sedangkan faktor eksternal adalah terbatasnya alat KB bagi pria dan adanya mitos atau anggapan keliru dimasyarakat bahwa vasektomi atau sterilisasi pria bisa mempengaruhi libido pria dan adanya kekhawatiran para istri karena dengan demikian akan memberikan peluang lebih besar bagi suami untuk menyeleweng, disamping itu sebagian besar masyarakat masih menempatkan perempuan hanya sebagai obyek dalam masalah seksual maupun reproduksi, karena yang hamil dan melahirkan wanita maka perempuanlah yang harus ikut KB agar tidak hamil.


Memang ketidakadilan jender dalam program ini dan kesehatan reproduksi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program KB. Sebagian besar masyarakat bahkan para provider dan penentu kebijakan masih banyak yang menganggap bahwa urusan penggunaan kontrasepsi adalah urusan perempuan. Tentunya ini merupakan sesuatu yang kurang adil, mengingat perempuan yang sudah mengalami masa hamil, persalinan, menyususi, mendidik, mengasuh, bahkan masih ada yang diharuskan ikut membantu suami mencari tambahan penghasilan, masih harus menggunakan alat kontrasepsi yang kadang-kadang tidak cocok bahkan ada yang mengalami komplikasi. Sedangkan suami yang ikut andil dalam proses reproduksi tidak mau berperan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Masalah kesehatan reproduksi bukan hanya milik perempuan, setelah menikah, laki-laki juga memiliki peran sama dalam menjaga kesehatan reproduksi pasangannya. Kepedulian pria dalam kesehatan reproduksi mempunyai pengaruh terhadap kesehatan ibu. Perhatian dan dukungan suami akan meningkatkan keberhasilan dalam menyelamatkan kehamilan dan persalinan[3].


Mengingat strateginya peran pria dalam program KB maka penanganannya tidak bisa dilakukan hanya secara parsial saja, hanya sekedar mengajak atau mensosialisasikan cara dan alat KB saja, tapi harus secara menyeluruh dengan menggali segala akar permasalahannya untuk merubah pola pikir bahwa reproduksi juga merupakan tanggung jawab laki-laki. Kesertaan KB bagi pria tidak bisa ditunda-tunda lagi, karena kesertaan pria dalam program KB akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan penanganan masalah kesehatan reproduksi termasuk penurunan angka kematian ibu melahirkan maupun angka kematian bayi, yang kesemuanya itu mempunyai pengaruh cukup besar dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)[4].



[1] Counselor Matari Sehati Yogyakarta dan Creative Director LIDI Management

[2] Sumber: Data penelitian dan hasil laporan lapangan Matari Sehati Yogyakarta.

[3] Artikel : Peran Pria dalam Kesehatan Reproduksi, PemKab. Purbalingga, Maret:2008

[4] Ayo Ikutan Program KB!!!! 2 anak lebih baik

Khitan: Kurangi Penularan HIV dan AIDS

16.14 Posted In Edit This 0 Comments »

Oleh Dian T Indrawan[1]


Sunat ternyata juga mengurangi risiko terinfeksi virus HIV dua sampai delapan kali lipat. Menurut Adi Sasongko selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Yayasan Kusuma Buana bahwa infeksi virus HIV dikatakan bisa muncul selama berhubungan seks dan penularan virus HIV pada pria biasanya melalui penis[2]. Sejauh ini berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana sunat pada pria dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV. Menurut Carlos R Estrada dan rekan-rekannya dari Pusat Kesehatan St Lukes Rush Presbyterian di Chicago, Illinois, sekitar 80 persen infeksi HIV biasanya muncul selama berhubungan intim.


Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Sekretariat Badan Dunia untuk Penanggulangan AIDS (UNAIDS) mempertemukan para ahli internasional dalam sebuah konsultasi untuk menentukan apakah sunat pada pria sebaiknya dianjurkan bagi upaya pencegahan infeksi HIV? Setelah dilakukan riset, hasilnya sunat pada pria mampu mengurangi risiko infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual pada pria 60 persen. Lalu, apa hubungannya sunat dengan pengurangan risiko penularan HIV/AIDS?


Adi Sasongko juga menjelaskan bahwa kepala penis merupakan faktor penting dalam penularan virus HIV dan AIDS. Kulit luar ujung atau kepala penis memegang peranan penting dalam jalan masuknya virus HIV. Pada kulit paling luar dari ujung atau kepala penis terdapat sel-sel yang sangat peka terhadap virus HIV. Bagian yang dipotong dalam proses sunat ini dilapisi kulit yang amat tipis. Bagian ini mudah luka saat berhubungan seksual dari pada kulit di belakangnya. Maka dari itu, virus dapat menyebar dari luka sekecil apa pun. Penis yang tidak disunat lebih mudah menyebarkan virus HIV terhadap pasangannya karena bagian kulit di ujung penis atau kulup yang lembap dan basah itu menjadi tempat yang cocok bagi virus HIV untuk hidup. Kulup yang basah juga berpotensi membantu penularan berbagai penyakit seksual lain. Dengan disunat, otomatis kulit penis akan terbuka sehingga berisiko rendah terhadap infeksi virus HIV.


Menurut data penelitian dari Halperin dan Bailey sebagaimana dikutip oleh saya, negara-negara Asia dan Afrika dengan prevalensi populasi laki-laki disunat kurang dari 20 persen mempunyai prevalensi HIV beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan populasi laki-laki di sunat yang lebih dari 80 persen. Hasil serupa, juga saya temukan dalam penelitian di Afrika Selatan, Kenya, dan Uganda. Ternyata risiko penularan HIV lebih rendah pada laki-laki disunat dibandingkan dengan yang tidak sunat. Afrika Selatan 76 persen lebih rendah, Kenya 60 persen lebih rendah, sedangkan Uganda 55 persen lebih rendah. Kenapa Afrika? Karena di daerah tersebut terdapat penderita HIV/AIDS paling banyak, yaitu 22 juta orang. Namun, jangan salah, sunat tidak otomatis membuat laki-laki kebal terhadap HIV/AIDS. Sunat hanya mengurangi risiko penularan HIV/AIDS saja.


Sunat bukan satu-satunya metode pencegahan penularan HIV yang bisa dilakukan. Pencegahan penularan HIV juga mesti dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui promosi penggunaan kondom dan tidak melakukan kegiatan yang berisiko menularkan HIV kepada orang lain. Menurut penjelasan Nitta selaku Manajer Program Penanggulangan AIDS pada Kelompok Berisiko Tinggi Yayasan Kusuma Buana Rediscoveri, kampanye dan sosialisasi penularan serta pencegahan HIV/AIDS harus berkesinambungan disertai peningkatan akses pelayanan pemeriksaan dan pengobatan bagi orang dengan HIV. Kelompok berisiko tinggi tertular penyakit menular seksual dan HIV adalah para pekerja seks dan pengguna narkoba suntik.



[1] Counselor Matari Sehati Yogyakarta dan Creative Director LIDI Management

[2] Kompas.com, Maret 2009

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search