Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Kekerasan Terhadap Perempuan Bukti Diskriminasi Gender

16.25 Posted In , Edit This 0 Comments »

Oleh. Dian T Indrawan[1]


Maraknya isu “Kekerasan terhadap perempuan”, menjadi rangkaian kosakata yang cukup populer dalam beberapa tahun belakangan ini, telah memasuki wilayah yang paling kecil dan eksklusif, yaitu keluarga. Sangat ironis, di tengah-tengah masyarakat yang katanya ‘modern’, karena dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme yang secara teori seharusnya mampu menekan tindak kekerasan namun justru budaya kekerasan semakin menjadi fenomena yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain yang keseluruhannya adalah wadah budaya kekerasan.


Di AS sendiri yang konon Negara pengusung HAM, justru menunjukan laporan yang cukup mengejutkan. Andrew L. Sapiro dalam bukunya berjudul Amerika No.1 menyebutkan “Kita no.1 dalam kasus pemerkosaan yaitu 114 per 100.000 penduduk.” Departemen Kehakiman AS sampai akhir 1992 menyebutkan bahwa 20% pemerkosa adalah bapaknya sendiri, 26% orang dekatnya, 51% orang yang dikenalnya, 4% orang yang tidak dikenalnya. Ini fakta tahun 1992, bagaimana dengan sekarang? Senada dengan kondisi di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun. Catatan tahun 2004, misalnya, menyebut 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil di-monitoring. Dari hasil keseluruhan terdapat 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 kasus adalah kasus KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri sebanyak (75%), kekerasan terhadap anak perempuan (10% ), dan kekerasan terhadap keluarga lainnya (1%). Pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, pacar, ayah, kakek, dan paman[2].


Setiap tanggal 25 November, masyarakat dunia memperingati hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Hari itu merupakan momen untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Issue tersebut diterjemahkan dengan cepat oleh pemerintah Indonesia dengan menggagas ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’ melalui UU No. 23 tahun 2004, yang disandarkan pada Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan’ (20 Desember 1998). Pada Konferensi Perempuan Internasional di New York, ditandatangani Konvensi Internasional tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (awal Maret 2000). Menurut kacamata gerakan feminis, kekerasan terhadap perempuan yang mereka bahasakan dengan kekerasan berbasis jender merupakan hasil bentukan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat patriarki[3]. Menurut mereka, di Indonesia secara histories sudah mengusung pelembagaan kekerasan jender sejak dulu masa kerajaan, yaitu dengan berlakunya norma kepatuhan dan komoditi di tengah-tengah masyarakat (Jurnal Perempuan, ed. 09).


Keadaan inilah yang mereka anggap semakin memperkokoh ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Apalagi kebijakan pembangunan dalam seluruh aspeknya selama ini lebih banyak memihak kepada laki-laki. Adapun kebijakan yang berkenaan dengan perempuan cenderung mengarah pada pemberdayaan perempuan sebagai ibu dan istri saja. Akhirnya, posisi perempuan semakin terpinggirkan, terutama dalam hak-hak sosial, ekonomi dan politik; mereka selalu menjadi orang nomor dua setelah laki-laki, baik dalam sektor privat (keluarga) maupun publik (masyarakat). Kondisi ini sering berujung pada penuduhan terhadap Islam yang dianggap lebih memihak laki-laki dan bersifat misoginis[4].


Inilah yang menjadi penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Mereka bahkan menuduh norma agama khususnya Islam turut mendukung langgengnya budaya kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, seperti hukum Islam seputar kebolehan seorang suami berpoligami, wajibnya seorang istri meminta izin suami ketika keluar rumah, kebolehan suami memukul istrinya ketika ia nusyûz, atau keharusan seorang istri melayani suaminya ketika ia menginginkannya, dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa kekerasan tidak ada kaitannya dengan masalah jender (berbeda dengan jenis kelamin), karena kekerasan tidak hanya menimpa kaum perempuan, tetapi juga menimpa kaum laki-laki, baik di dalam atau pun di luar rumah tangga. Menurut Islam aliran keras menjelaskan bahwa kekerasan terkait dengan jender adalah pandangan yang sangat keliru. Itu hanyalah pandangan kaum feminis yang mengukur kejahatan berdasarkan jender, pelaku dan obyeknya. Mereka membela pelacuran ketika perempuan menjadi korban. Dalam keseharian memang tempat portitusi merupakan suatu tempat dimana banyak korban kekerasan dalam segi finansial.



[1] Counselor Matari Sehati Yogyakarta dan Creative Director LIDI Management

[3] sistem yang didominasi dan dikuasai oleh laki-laki

[4] Tindakan yang lebih mengarah pada kebencian terhadap perempuan

0 comments:

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search