Membicara tentang kehidupan komunitas LGBT yang dapat memuaskan semua pihak, memang sangatlah sulit dan menuntut kearifan serta kehati-hatian. Artinya disini bahwa siapapun yang menulis tentang LGBT, jangan sampai ada yang merugikan komunitas itu sendiri. Sedangkan bagi yang lain, tidak merasa arogan dan semena-mena. Jujur, tindakan yang paling aman adalah diam. Namun tindakan tersebut adalah tindakan yang kurang bertanggung jawab. Seperti yang saat ini terjadi pada saya, dampak penulisan berita yang saya angkat tentang pelangksanaan launching Yogyakarta principles saja banyak sekali dari komunitas yang mengeluhkan, adanya asal comot-sana sini. Sikap penuduhan seperti itu merupakan cerminan buruknya integrasi moral maupun kejujuran intelektual. Dalam hati aku bertanya, “Mau dibantuin berjuang kok malah marah, menuduh macam-macam, menghalangi kreativitas suatu person bahkan kelompok. Katanya peduli, katanya satu hati, kok seperti ini?”
Dalam buku “Memberi Suara Pada Yang Bisu” karya Dede Oetomo, tertulis bahwa salah satu ciri masyarakat yang modern adalah obsesinya dengan menggolong-golongkan segala sesuatu dan seringkali pelabelan tersebut dilaksanakan tidak secara induktif atau berdasarkan kenyataan yang ada melainkan berdasarkan ideologi yang dianggap sah dan telah mendominasi suatu masyarakat. Hal ini yang nantinya akan ber’imbas’ pada proses penggolongan kaum homoseksual sebagai prilaku yang dianggap menyimpang dan terkadang sering dikonsepsikan sebagai gangguan kejiwaan dalam masyarakat. Pelabelan atas kaum LGBT itu sendiri merupakan salah satu bagian dari studi mengenai seksualitas dan gender. Di dalam teori cultural studies, seks dan gender diyakini sebagai konstruksi sosial yang secara intrinsik terkandung dalam masalah-masalah representasi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dede Oetomo, dimana beliau mengatakan dalam pandangan sosio-konstruksionism gender dan seksualitas yang merupakan konstruksi yang ‘terberi’ melainkan dibentuk dan dirajut oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang beraneka ragam.
Dalam memelajari tentang seksualitas dan gender, pada akhirnya kita harus dan sebaiknya mengetahui dua faham besar dalam studi ini. Faham besar yang dimaksud ddisini adalah faham essensial dan faham konstruksionis[1]. Dimana kedua faham ini membawa warna tersendiri dalam proses penyikapan kaum homoseksual. Pemahaman kaum essensialis lebih mengacu dan terpaku pada tingkat individu dan cenderung kearah biologis. Pada kaum ini dapat dilihat bahwa mereka memiliki prinsip bahwa seksualitas seseorang berasal dari dorongan biologis yang alamiah dan terkonsep secara naluriah. Pernah ada teman di Matari Sehati, dia adalah seorang heteroseksual dan ia bertanya “Jadi homoseksualitas itu tidak dapat disembuhkan ya? Bagaimana menurutmu dengan artis yang berkata bahwa dia dapat sembuh dari homoseksualitas dia?”
Menurut saya pandangan bahwa homoseksualitas adalah suatu penyakit yang dapat disembuhkan itu salah. Homoseksualitas bukanlah suatu penyakit kejiwaan yang harus disembuhkan. Homoseksualitas itu sendiri merupakan salah satu bagian dari orientasi dan identitas seksual seseorang. Kemudian jika dikaitkan dengan seorang artis yang memberikan statement seperti itu, kita juga harus menghargai pendapatnya tentang hal tersebut. Menurut beberapa ahli psikologi di Amerika bahwa homoseksualitas bukanlah suatu penyakit kejiwaan yang harus disembuhkan. Homoseksualitas merupakan bagian dari keberagaman orientasi seksual.
Sementara jika dilihat dari kaca mata kaum konstruksionis menyatakan bahwa homoseksualitas dapat terbentuk karena adanya proses sosio-culturalisme baik dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat itu sendiri. Homofilia atau yang lebih dikenal sebagai homoseksualitas merupakan gejala ketertarikan seseorang secara emosional dan secara seksualitasnya kepada sesama jenis kelaminnya. Homofilia dapat terjadi pada setiap orang dan terdapat dimana saja dalam kehidupan manusia karena secara biologi-psikologis manusia dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan tindakan seks yang jauh lebih banyak macamnya daripada senggama dengan penis dan atau dengan vaginanya (Dede Oetomo, 2001:93-96). Secara teoritis sendiri homoseksualitas dapat diartikan sebagai rasa ketertarikan seseorang secara hubungan emosional dan secara erotik terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama baik itu berupa kasih saying, dan dengan atau tanpa hubungan fisik. Homoseksualitas ini menjadi pokok sebagai suatu identitas seksual yang memiliki orientasi ini. Gay merupakan sebuatan untuk kaum homoseksual laki-laki dan Lesbian untuk kaum lebian yang perempuan.
Jika dilihat dari kaca mata saya bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam diri komunitas LGBT di Indonesia tidak hanya berasal dari factor eksternal namun juga berasal dari diri komunitas-komunitas LGBT di Indonesia itu sendiri. Pernah ada yang meng-email saya, dia itu adalah salah satu aktifis dampingan untuk masalah hak asasi perempuan yang lebih berkonsentrasi pada hak asasi reproduksi perempuan. Dia mempertanyakan satu hal kepada saya “Mengapa komunitas LGBT di Yogyakarta kebanyakan ingin dimengerti oleh orang heteroseksual, namun mereka sendiri tidak ingin tahu tentang keadaan diluar? Jadi sikapnya lebih eksklusif dibandingkan dengan komunitas LGBT yang berada di luar sana.” Dan saya hanya mencoba menjawabnya dengan penuh ke arifan bahwa itulah fenomena yang terjadi dalam diri komunitas LGBT di Yogyakarta bahkan mungkin juga terjadi di Indonesia. Itu juga merupakan bagian lain dari keberagaman prinsip yang ada di komunitas-komunitas LGBT yang telah terbentuk selama ini.
Setelah membaca buku dan beberapa artikel dari Dede Oetomo, saya lebih mendapat pencerahan akan keberadaan homoseksual yang ada di Indonesia ini. Saya telah memahami konsep yang ada pada diri komunitas LGBT yang selama ini adalah ketika saat saya duduk di bangku SMA yang mana banyak sekali yang bilang bahwa homo adalah banci. Ketika itu pandangan tentang homoseksualitas saya hanya terpaku pada terdapat keterlibatan seorang pria dengan pria yang lain yang saling mencintai. Sama seperti kabanyakan masyarakat di lingkungan saya tinggal, beranggapan bahwa homosek adalah perilaku yang menyimpang dari norma social dan agama. Saya sadar bahwa homoseksualitas itu adalah hal yang dapat terjadi pada siapa pun tanpa terkecuali. Dan pemikiranku tentang homoseksual yang terlalu dangkal itu mulai sirna sejak aku memutuskan untuk melakukan penelitian ke beberapa komunitas LGBT di Yogyakarta.
0 comments:
Posting Komentar