(Ketua Program Konseling Matari Sehati dan President Director re-Fresh Production Jakarta)
Dalam perkembangan media massa selama ini telah terbukti sebagai suatu alat yang efektif dalam penyampaian informasi hingga ke pelosok-pelosok. Di pelosok bumi ini televisi dan radio dimanfaatkan sebagai sarana kampanye-kampanye. Seperti kampanye tentang hak-hak asasi reproduksi perempuan, hak-hak asasi manusia, kampanye tentang menghijaukan bumi dan masih banyak lagi kegunaan dari manfaat perkembangan media yang semakin pesat ini. Menurut Maria Hartiningsih dalam makalahnya yang berjudul “Media Massa dan Seksualitas” menyebutkan bahwa media massa sangat berpengaruh terhadap pembentukan realitas sosial. Komunikasi massa selalu mempunyai dampak pada diri seseorang atau pun sekelompok orang sebagai akibat dari pesan-pesan yang disampaikannya. Tetapi berbeda lagi dengan pendapat dari Marvin De Fleur dalam buku Understanding Media menyatakan bahwa media massa tak hanya memiliki dampak langsung dalam individu, akan tetapi juga akan mempengaruhi kebudayaan serta nilai-nilai dalam masyarakat.
Didalam pembahasan tentang media dan seksualitas lebih mendalam sebaiknya kita perlu tahu seperti apa fungsi media itu sendiri. Fungsi media adalah sebagai sarana penyampaian segala hal informasi agar audience atau masyarakat memusatkan perhatiannya pada semua kebutuhan akan perubahan. Serta sebagai sarana dalam mendukung perubahan-perubahan dan membangkitkan aspirasi rakyat (De freux, 2004:112). Telah dibahas dengan singkat tentang media dan fungsi media dapat di tarik kesimpulan bahwa media merupakan seperangkat citra, gagasan dan evaluasi yang berupa informasi yang dapat dijadikan sebagai sumber bagi masyarakat untuk dijadikan suatu acuan. Selain sebagai acuan media itu sendiri dapat dijadikan sebagai sarana hiburan dan mobilisasi. Namun hal lain dalam pembahasan tentang media, pelaku usaha media dituntut untuk dapat menjunjung tinggi nilai-nilai dan pola-pola perilaku tertentu dalam masyarakat.
Pola utama yang di sorot oleh media adalah pola pencitraan dalam citra perempuan dimana media massa masih banyak bersifat stereotype. Artinya bahwa perempuan masih di jadikan sebagai media atau obyek seksualitas, perempuan harus selalu dijaga dalam keadaan apapun termasuk kecantikan dari luar, media masih selalu mengeksploitasi perempuan dalam tugas tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang mencakup kasur, sumur dan dapur. Semua itu diperparang dengan tidak diluruhkan karena telah ada perempuan yang bekerja di area public tapi malah diperkuat lagi. Di dalam kebudayaan patriarki jawa, perempuan juga harus menjaga baik dari fisik maupun ‘unggah-ungguh’ dalam pergaulan dan harus memahami perannya di dapur. Dimana keberadaan perempuan yang selama ini ada? Dari pertanyaan ini dapat dijawab sesuai penjelasan diatas, bahwa perempuan yang sekarang ini ada berada dalam balik baying-bayang laki-laki. Dimana seluruh hak-haknya menempel pada pihak lain. Dengan arti lain, banyak sekali perempuan yang sadar bahwa ketika mereka telah bersuami hak-hak mereka diberikan pada pihak suami termasuk dengan hak-hak reproduksi mereka. Namun dalam keadaan single, hak-hak mereka masih dipegang oleh keluarganya yang memiliki hierarki lebih tinggi.
Dalam adanya perkembangan media yang ada, media berada dalam ruang kontestasi. Dimana ruang tersebut merupakan isi media yang ditulis oleh wartawan media. Tanpa adanya wartawan, media yang seharusnya berisi info-info hanyalah ruang kosong dan bersifat netral. Semua yang terdapat dalam isi media meruapakan sebagai alat perebutan ideologi perusahaan media massa yang terdapat dalam ruang kontestasi tersebut. Hingga saat ini perusahan media mainstream masih mendominasi dalam perkembangan media massa. Ketidakadilan gender merupakan faktor utama dalam perkembangan media massa yang tergolong sebagai media mainstream ini. Selain dari pandangan media masih banyak oraganisasi masyarakat dan oknum-oknum tertentu dengan mengatasnamakan suatu agama tertentu tidak setuju akan adanya gerakkan kesetaraan gender itu. Karena anggapan mereka bahwa perepuan telah pantas diperlakukan seperti itu. Akan tetapi berbeda halnya dengan tindakan sementara yang dilakukan oleh para parlemen dengan menyatakan bahwa 30 % keterwakilan perepuan dalam UU yang beberapa bulan yang lalu disahkan.
Media mainstream juga memiliki potensi dalam meraih polaritas-polaritas media dan selalu menganggap hal suatu adalah “sudah pasti.” Dan kebanyakan wartawan di Indonesia dibentuk dengan cara berfikir seperti itu[1]. Menurut pendapat saya sendiri tentang cara berfikir yang seperti hal diatas menunjukkan jalan pintas dan kemalasan dalam diri wartawan dan perusahaan media massa yang tidak ingin atau bahkan tidak mau melihat realita yang sesungguhnya. Di dalam isi media yang telah dianggap sudah pasti terdapat kandungan ideologi tertentu. Dalam kenyataan yang ada media mainstream juga memiliki potensi dalam tindakan merendahkan suatu kelompok tertentu. Dalam isu seksualitas yang heteronormatif, laki-laki belum banyak sebagai pusat perhatian dibanding perempuan. Fenomena ini terbentuk karena adanya rezim media massa yang heteronormativ itu sendiri. Banyak sekali politik media dalam menyebarkan isu-isu heteronormatif. Masih hangat ditelinga kita bahwa berita yang menyebarkan isu-isu tentang homofobia tersebar luas. Karena berita tersebut di produksi oleh penguasa dan pemangku jabatan dalam suatu perusahaan media massa. Hal itu tersebar ke masyarakat yang direproduksi oleh stereotype baku terhadap kelompok di luar heteroseksual. Contoh judul berita homophobia dalam media mainstream adalah “Pria Homoseksual Memutilasi Teman Kencannya Di Hotel Berbintang.”
Selama ini yang selalu disalahkan adalah orientasi seksual yang dikaitkan dengan perilaku seksual seseorang. Dalam telinga kita belum pernah terdengar judul “Pria Heteroseksual Memutilasi Teman Kencannya Di Hotel Berbintang.” Hal tersebut karena adanya bentukkan dari stereotype baku yang telah membentuk stigma dan juga menstigmasi lain di luar heteroseksual, membuat kategori yang membuahkan prasangka lain lagi hingga akhirnya melemahkan eksistensi lain sebagai manusia[2]. Secara ekstrem banyak pemangku jabatan yang mengeluarkan UU dan Peraturan Daerah yang sangat mendiskriminasikan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) bahkan menyetujui adanya gerakan anti-gay, anti-lesbian dan mengkriminalkan para transgender di Indonesia.
Media massa sendiri menggunakan kelompok non heteroseksual sebagai suatu komoditas yang “menjual”, entah semua itu akan dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari (life style), percintaan, razia petugas (kasus yang biasa terjadi dalam komunitas Waria), kisah hidup bahkan kriminalitas yang akan membuat seseorang terbelalak, kaget ataupun meletakkan komunitas LGBT dalam posisi lebih tinggi. Akan tetapi dalam hal ini komunitas LGBT ini di letakkan dan dianggap dalam posisi social yang lebih rendah dan tersingkirkan. Sekarang ini hanya tergantung dengan komunitas-komunitas dan teman-teman LGBT sendiri, bagaimana cara menghadapi media mainstream itu sendiri.
[1]Hartiningsih, Maria. 2008. Media Massa dan Seksualitas. Hal 16.
[2]Hartiningsih, Maria. 2008. Media Massa dan Seksualitas. Hal 19.
0 comments:
Posting Komentar