(Ketua Program Konseling dan Pengorganisasian Komunitas Gay)
Melalui kehidupan dari kaum gay dan lesbian kita dapat memahami tentang bagaimana proses menjadi orang Indonesia itu terjadi, pemahaman tentang bagaimana mekanisme berlangsungnya sebuah negara. Negara Indonesia mengajarkan kita tentang nilai heteronormatif yang mengasumsikan bahwa heteroseksualitaslah yang merupakan satu-satunya norma yang pantas untuk berperan penting dalam pembentukan suatu negara sebagai komunitas yang diimajinasikan. Serta Indonesia juga menganggap bahwa keluarga inti yang dapat dijadikan model bagi sebuah negara. Oleh karena itu, sikap yang ditujukan pada kaum homoseksual adalah reaksi dalam bentuk yang bukannya dipahami dalam konteks gerakan gay dan lesbian secara global. Diskriminasi ini dipahami sebagai fenomena pembentukan gagasan sentral tentang ‘Indonesia’ dan dalam konteks ini telah disebutkan dalam buku Antropologi Indonesia (2006) yang menyatakan bahwa model keluarga pada pasangan heteroseksualah yang menjadi mekanisme dalam mempertahankan model nasionalisme di Indonesia. Ada hal yang hampir pasti, yaitu bila orang barat mendengar kata ‘Indonesia’, yang dimaksud selalu pulau Bali. Dalam hal ini Bali memiliki citra bahwa sebuah tradisi tak lekang oleh waktu dengan menyuguhkan tarian yang eksotis dan pantai berpasir dianggap sebagai hal yang wajar. Stereotip ini merambah ke permasalahan seksualitas dan gender sehingga Indonesia diasumsikan terbangun dari suatu budaya yang toleran dimana gay, lesbian, dan waria (transgender) ini di nilai. Namun pada kenyataannya lebih susah dari itu. Indonesia merupakan wilayah yang multikutural yang besar dengan memiliki sekitar 675 etnis dan bahasa. Beberapa kelompok tersebut beranggotakan ratusan bahkan jutaan dengan memiliki tokoh laki-laki yang dianggap sebagai ahli dalam ritual tertentu. Ritual ini masih ada tetapi kurang terkait dengan kasus gay dan lesbian di Yogyakarta bahkan di Indonesia. Mereka dianggap berhubungan dengan profesi dan bukan persoalan seksualitas. Kenyataannya bahwa profesi ini diasosiasikan pada laki-laki yang berpakain seperti perempuan dan bukan berarti mereka dianggap sebagai kategori sebagai gender ketiga. Dengan adanya pembedaan ini, kategori gay dan lesbian merupakan langkah penting untuk memahami lebih dalam tentang kehidupan kaum gay dan lesbian dalam masyarakat di Indonesia.
Keberadaan Gay dan Lesbian di Yogyakarta
Masyarakat awam masih kebingungan untuk membedakan antara waria dan gay, padahal keduanya merupakan berbeda satu sama lain. Gay di Indonesia mulai menyebut diri mereka sebagai gay dan lesbian pada tahun 1970 hingga awal 1980an. Sedangkan menurut Uki selaku aktivis gay di PLU satu hati menjelaskan bahwa pada tahun 1990-an di Yogyakarta memproklamirkan tentang keberadaan komunitas yang menyebut dirinya gay dan bedirilah Indonesian Gay Society (IGS) yang beranggotakan kaum akademisi, bentuk gerakannya lebih bersifat intern dan berkesan eksklusif. Kemudian dengan adanya perkembangan di dalam tubuh organisasi IGS, teman-teman IGS bekerjasama dengan PKBI DIY kemudian diubah namanya dengan “Lentera,” dimana konsep gerakannya berupa pendampingan dan memberikan info-info tentang bahaya HIV/AIDS serta juga mengadakan acara silaturahmi antar anggota Lentera yang disebut dengan KKWK yang dijadikan ajang tahunan. Ajang silaturahmi ini kemudian dihancurkan oleh oknum gerakan yang mengatasnamakan agama yang berkaitan dengan pemanasan politik pada sekitar awal tahun 2000. Setelah terjadi kerusuhan KKWK, para anggota Lentera yang tergabung pada acara KKWK kemudian mencetuskan untuk membuat sebuah sub organisasi yang bernama “Pelangi Jogja” dengan bentuk gerakan yang ekternal berupa pendidikan tentang HIV/AIDS dan advokasi serta memiliki jaringan dari kalangan masyarakat seperti Mahasiswa, Petani, dan Lembaga Sosial yang mendedikasikan diri ke bidang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pengertian lebih dalam tentang kaum gay dan lesbian cenderung tidak didapat dari orang tua, tetangga, guru-guru agama melainkan lebih cenderung di dapat dari media massa. Hal ini selaras dengan pendapat dari Anderson (1983) tentang peran penting media massa sebagai sarana penciptaan sentimen nasionalisme di era modern seperti saat ini. Sekalipun ada peranan media massa yang cenderung memanipulasi berita, ide-ide tentang gay dan lesbian yang terbentuk dari kondisi keterpencilan budaya barat dan yang bersifat subyektifitas lesbian. Salah satu aspek yang paling penting dari subjektivitas gay dan lesbian adalah tentang perasaan jati diri yang tidak dapat dipungkiri secara skala nasional. Masyarakat di Indonesia sering kali mengdentifikasikan dengan istilah etnolokal. Proses pengidentifikasian ini menguat di bawah rezim pemerintah lokal setelah Presiden Suharto lengser dari jabatannya tahun 1998, meskipun penguatan etnolokal ini terjadi, tidak ada indikasi bahwa masyarakat menggunakan dalam konteks gay dan lesbian. Oleh karena itu menurut Uki selaku aktivis Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual (LGBT) yang tergabung dalam PLU (People Like Us) satu hati ini memberikan penjelasan tentang gagasan nasionalisme terhadap gay dan lesbian di kota Yogyakarta yaitu semua anggota ataupun non anggota PLU satu hati harus dapat menepis stigma buruk tentang komunitas gay dan lesbian, berkampanye keluar tentang pendidikan publik yang berupa diskusi, pelatihan-pelatihan penurun resiko dan kegiatan positif lainnya serta kegiatan-kegiatan yang ada tidak memandang ras ataupun suku. Hal ini juga di jelaskan oleh Boellstörff bahwa gagasan menjadi gay dan lesbian tidak berasal dari etnis tertentu bahkan tradisi lokal sekalipun, meskipun sejarah acap kali menunjukkan bahwa ide-ide yang datang dari luar dapat dilokalkan. Hal yang menarik lainnya adalah bahwa konsep gay dan lesbian tidak dapat dipandang sebagai subjektivitas global. Perlu juga diketahui kaum homoseksual di Yogyakarta mengetahui bahwa di belahan dunia lain terdapat kalangan yang mendefinisikan kelompok mereka sebagai “Queer[1]” dan terkadang mereka merasakan adanya rasa keterikatan terhadap komunitas mereka sendiri yang kurang yakin untuk dapat berbagi cerita dan pengalaman bersama.
Keterkaitan antara seksualitas dan persoalan kebangsaan sangatlah menarik untuk dibahas akan tetapi tidak begitu mengejutkan karena ideology heteroseksual yang lebih cenderung patriarkis begitu dominan dan menjadi acuan warga negara yang sesuai. Dengan merujuk pada sejumlah isu-isu mengenai gay dan lesbian termasuk peranan media massa dan hubungan antara bangsa dan seksualitas merupakan hubungan paralel antara subjektivitas gay dan lesbian yang nyata, meskipun antara mereka memiliki perbedaan. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Rosa yang merupakan aktivis LGBT di Queer Media Singapura menjelaskan bahwa semenjak adanya istilah gay dan lesbian di Yogyakarta bahkan di Indonesia, gagasan waria selalu tidak pernah memiliki hubungan relasi dengan perempuan, semenjak gagasan ini muncul kemudian para lelaki heteroseksual menganggap dan memandang tentang diri waria merupakan hal yang berbeda dengan yang lain yaitu sebagai lelaki yang berciri kelamin ganda di satu sisi dan homoseksual di sisi yang lain. Dalam tingkatan kehidupan social, perbedaan antara gay dan lesbian diakibatkan adanya diskriminasi gender dan masih ada tekanan yang kuat bagi gay maupun lesbian untuk menikah secara heteroseksual di negeri yang masih menjunjung tinggi asas patriarkis ini. Hal ini memberikan dampak yang buruk, demi melindungi harga dirinya perempuan ditempatkan pada posisi yang diawasi bahkan sebelum menikah pun ruang gerak mereka sangatlah minim (Anderson, 2005:4).
Seksualitas dan Sentimen Kebangsaan Gay dan Lesbian di Yogyakarta
Pemahaman saya tentang keberadaan mereka disekitar kita rupanya selalu saja bermuara pada suatu pertanyaan tentang heteronormativitas dalam keluarga, masyarakat dan negara. Hubungan-hubungan ini rupanya lumayan mendalam, bukanlah sebagai hal yang kebetulan bahwa ada beberapa cara untuk menjadi bagian dari suatu bangsa modern yang dilahirkan menjadi warga negara atau menjadi warga di suatu tempat merupakan hal yang setara dengan proses menjadi keluarga modern yang prosesnya melalui kelahiran ataupun adopsi (Boellstörff, 2007:108). Negara kini menjadi alat dominant untuk mengorganisasikan masyarakat di dunia dimana gagasan heteronormatif terbukti dapat menjadi elemen pembentuk dasar yang diacu oleh banyak negara. Perpaduan antara heteronormativitas dengan nasionalisme terlihat sangat jelas dalam sebuah pernikahan. Artinya pernikahan tidak lagi dilihat sebagai urusan perjanjian antara dua keluarga tetapi sebagai pilihan untuk menciptakan suatu ikatan. Tindakan berdasarkan pilihan ini telah mendifinisikan diri kita sebagai masyarakat yang modern dan bagian dari masyarakat Yogyakarta bahkan Indonesia yang modern pula. Sehingga ‘kegagalan’ untuk memilih secara tepat dalam membawa konsekuensi yang besar. Ketika pernikahan masih merupakan suatu ajang perjodohan, maka orientasi seksual tidak menjadi kategori yang penting. Tetapi ketika pernikahan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pilihan, maka pilihan tersebut gagal jika bukan merupakan pilihan heteroseksual. Orientasi seksual telah hadir sebagai suatu aspek yang penting dalam kepribadian seseorang sejak tahun 1920an (Anderson, 1983:26). Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan dari mereka berhasrat untuk menikah dan tentunya mereka merasa ditolak oleh mayoritas masyarakat Yogyakarta bahkan Indonesia. Hanya sedikit saja Negara-negara yang mengakui adanya pernikahan gay dan lesbian, sementara yang lainnya memboikot dan berpandangan lebih kearah kebangsaan yang mengesampingkan mereka yang non heteroseksual dengan cara apapun. Pengakuan dan diskriminasi memberikan bentuk-bentuk yang spesifik secara cultural dan histories. Dewasa ini sudah saatnya dilakukan upaya-upaya yang mencakup laki-laki dan perempuan, atau setidaknya mengakui bahwa sebuah analisis yang didasarkan pada laki-laki mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi dari fakta yang ada. Perubahan yang dibutuhkan harus berlangsung dalam urusan seksualitas. Seharusnya kaum heteroseksual dan kaum LGBT diberi tempat atau pengakuan bahwa analisis yang dilakukan oleh heteroseksual mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi dari fakta-fakta yang ada.
[1] Secara harfiah Queer berarti aneh, odd, strange. Sehingga dijadikan celaan bagi teman-teman LGBT. Tapi dalam perkembangannya, pada akhir abad 20 kaum LGBT mengambil celaan tersebut menjadi sebuah identitas mereka yang non heteroseksual, menjadi sebuah pernyataan kebanggaan terhadap identitas individu yang berbeda dari kebanyakan.
0 comments:
Posting Komentar