Wawasan Gender Dalam Ilmu Komunikasi
23.19 Posted In pengetahuan Edit This 0 Comments »Oleh: Dian T Indrawan
Ketua Program Konseling dan Pengorganisasian Komunitas Gay Matari Sehati Yogyakarta
Wawasan gender acap kali dijadikan sebagai bagian dari kontruksi realitas gender. Sebagai proses social, konstruksi tersebut bertumpu pada istilah dan nilai yang dibawa oleh bahasa yang digunakan untuk menjadi kekuatan dalam pencitraan. Proses tersebut juga merujuk kepada factor sejarah yang terkandung maksud bahwa konstruksi realitas perempuan memiliki akar tahapan yang begitu kompleks. Kompleksitas perempuan dapat ditinjau dari dua pandangan yakni; pandangan pertama, realitas tersusun dari unsur-unsur yang begitu luas yang menyebabkan pemahaman tentang realitas tersebut harus diidentifikasikan oleh unsur-unsur yang terkait dengan realitas tersebut. Pandangan yang kedua, realitas kaum perempuan tersusun dari lapisan unsur yang harus di kupas lapis demi lapis demi mendapatkan fakta tentang realitas tersebut[1].
Pemahaman terhadap beberapa realitas harus dilakukan karena pada kedua pandangan diatas memberikan penegasan tentang rumitnya mengetahui apa, siapa, dan bagaimana realitas itu sebenarnya. Untuk mengetahui tentang realitas kehidupan perempuan, dapat dilakukan dengan analisis semiotika yang mengkomunikasikan makna yang sesungguhnya tentang seseorang atau tentang sesuatu[2]. Pembacaan makna secara tepat akan membawa pada pemahaman tentang perempuan itu sendiri. Realitas tentang perempuan sebenarnya dapat diumpamakan sebagai kedipan mata yang pemaknaanya memerlukan kejelian dalam usaha mendapatkan hasil riset tentang gender yang maksimal.
Pendekatan Konstruksi Sosial terhadap Konseptual Gender
Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminine. Gender sendiri bukanlah jenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang lebih bersifat biologis[3]. Namun pada dasarnya bahwa jenis kelamin sering kali terkait dengan gender. Kaitan antara gender dan jenis kelamin ini bukanlah merupakan korelasi absolute. Karena porsi gender yang ada tergantung dengan konteks social budaya setempat. Gender itu sendiri membagikan atribut dan pekerjaan. Realitas social menunjukkan bahwa pembagian peran berdasarkan gender ini melahirkan suatu keadaan partiarkis yang tidak seimbang, artinya bahwa perempuan selalu diposisikan dibawah laki-laki.
Menurut Chafetz[4], ketidakseimbangan berdasarkan gender mengacu pada ketidak seimbangan akses ke sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Ketidakseimbangan ini didasarkan pada keanggotaan kategori gender. Hal ini sangat tampak bahwa pendapat Chafetz kurang memperhatikan aspek social budaya yang mengkonstruksikan ketimpangan gender yang terjadi dalam masyarakat. Konstruksi social telah hadir untuk menjelaskan hal tersebut dengan cara melihat realitas sebagai sesuatu yang terbentuk karena terjadi proses social. Masyarakat merupakan produk manusia yang terjadi karena adanya proses dialektika[5]. Konstruksi social dalam masyarakat telah hadir untuk memberikan penjelasan tentang kecenderungan proses social sebagai relaitas social yang sedang terbentuk. Konstrusksi social lebih menekankan tentang realitas keadaan dan pengalaman tentang sesuatu yang direpresentasikan melalui aktivitas social[6].
Eksternalisasi adalah ekspresi diri manusia dalam membangun tatanan kehidupan bermasyarakat atau dalam arti lain bahwa hal tersebut merupakan suatu proses penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya. Konstruksi social dan budaya terbentuk dari sejarah pengalaman manusia yang diinterprestasikan dan dimaknai berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Pada awal kehidupan manusia, berburu merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kegiatan berburu selalu dilakukan oleh kaum Adam. Sedangkan anak-anak dan para perempuan tergantung pada kaum Adam untuk memperoleh daging. Seperti yang dikatakan oleh Rosaldo (1974), Ortner (1974), McCormack (1980) dalam Moore (1994:10-11) bahwa subordinasi perempuan tidak hanya bersifat kebudayaan saja tetapi juga berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian ini berasosiasikan pada simbolisasi antara perempuan dan laki-laki dengan alam dan budaya. Perempuan dengan fungsi reproduksi diasosiasikan dengan domestic dan laki-laki dilingkungan public akhirnya melahirkan hubungan yang hierarkis. Dengan kata lain bahwa laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior. Proses eksternalisasi merupakan fakta antropologis yang mendasar pada biologis manusia².
Objektivitas adalah suatu proses menjadikan tatanan kehidupan yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas yang terpisah dengan subjektivitas. Hal ini terjadi suatu proses ketika dunia intersubjektif atau mengalami intitusionalisasi. Proses pembiasaan merupakan langkah awal dari institusional. Suatu tindakan berpola telah dijadikan kebiasaan membentuk lembaga-lembaga yang merupakan hak dan milik bersama. Lembaga-lembaga ini mengatur setiap perilaku individu[7]. Nilai dalam kebudayaan membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam realitas social dapat ditemukan dalam berbagai basis kebudayaan. Internalisasi merupakan suatu proses pembelajaran tentang nilai yang lebih general oleh individu dan dijadikan sebagai bagian dari hidup. Dalam pembahasan ini yang mengarah pada identifikasi diri setiap individu kedalam realitas objektif, individu yang dimaksud haruslah secara terus menerus berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan social sehingga kaum hawa sendiri terbentuk sebagai suatu pribadi dengan identitas yang dikenal secara subjektif sekaligus objektif (Berger, 1994:23).
Sosialisasi itu sendiri mengandung beberapa arti, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang dialami setiap individu dalam masa kanak-kanak sebagai bagian dari anggota masyarakat dan dianggap skunder. Sementara itu, sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi yang mengimbas pada setiap individu yang telah disosialisasikan ke dalam sector-sektor baru dalam dunia yang objektif kepada masyarakat (Abdullah, 2003:268). Hubungan gender yang terbentuk dalam berbagai aspek kehidupan social tidak lain berasal dari bentukan social yang telah mendapatkan pengesahan.
Subjektivitas dalam Membangun Prespektif Perempuan
Dalam konstruksi social dari pandangan Berger tidak dapat melepaskan dirinya begitu saja dan berbagai masalah metodologis yang pelik. Persoalan tersebut yang paling mendasar dalam studi gender ini adalah persoalan bias laki-laki dalam pembahasan yang mengingkari adanya perspektif perempuan sendiri. Namun hal ini sangat berbeda dengan pandangan Simmel yang menyatakan bahwa structural melakukan kesalahan saat membandingkan perempuan dengan laki-laki. Sejalan dengan hal itu, pendekatan subjektif lebih dibutuhkan dalam teori-teori ilmu social termasuk dalam ilmu komunikasi untuk mengungkapkan lapis-lapis makna yang ada. Pendekatan ini disadari oleh asumsi bahwa kaum hawa merupakan kelompok yang sadar akan posisi cultural dan strukturalnya dalam suatu masyarakat. Dalam pendekatan ini terdapat usaha untuk memahami pandangan dari dalam tentang suatu ‘alasan’ yang mendasari suatu praktik social yang diwujudkan oleh perempuan. Penilaian baik dan buruknya suatu tindakan perempuan hanya dapat dilakukan setelah diketahui ‘alasan’ yang mendasarinya. Pendekatan subjektif ini juga dapat digunakan untuk membangun konsep, nilai dan ukuran definisi perempuan itu sendiri.
Pendekatan subjektif dalam penelitian dapat didasarkan pada sejumlah syarat yang terdiri dari; ketajaman persepsi seseorang untuk menangkap segala sesuatu yang terkait dengan eksistensi perempuan. Hal ini jika dilihat dari analisis semiotika, maka menghadirkan perempuan sebagai bentuk tanda dari sesuatu yang ingin diungkapkan oleh kaum hawa itu sendiri. Intuisi dari pendekatan subjektif yang tak lain sebagai syarat yang kedua merupakan kekuatan originatif di dalam mengkonstruksi realitas yang ada. Dibagian ini merupakan salah satu pembeda dari pendekatan deduktif yang lebih mengutamakan dan menggunakan ukuran yang objektif. Penekanan semiotika pada sifat-sifat khusus yang mengarahkan pada suatu gambaran yang mendalam tentang suatu ekspresi perempuan dalam hubungannya dengan berbagai struktur. Mendiagnosis suatu gejala fenomena perempuan yang terjadi jauh lebih penting dari pada kuantitas dari suatu tindakan (Abdullah, 2003:269).
Reorientasi Gender dalam Kajian Ilmu Komunikasi
Wawasan gender sesungguhnya mencakup aspek yang luas. Pembahasan tentang gender ini perlu sekali pemahaman tentang teori-teori gender dengan lebih rinci. Dalam memahami kasus-kasus tentang gender terutama untuk kasus perempuan, maka pemilihan sumber informasi seringkali mengabaikan kaum perempuan itu sendiri. Arti lain dalam pemilihan sumber informasi dalam memahami isu gender haruslah melibatkan informan yang sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan fakta dengan tepat informasi sekitar. Pemahaman tentang isu gender dapat diperoleh dengan menggunakan teknik analisis yang tepat dengan kata lain tidak hanya dengan kajian phenomenology, semiotika, atau dengan kajian etnografi, khusunya dengan memberikan analisis terhadap unsur-unsur yang dapat menghadirkan perempuan. Hal ini merupakan persoalan besar karena kedekatan perkembangan kajian gender dengan negara dan pasar. Kajian gender selama kurang lebih lima puluh tahun di Indonesia kurang mengalami perkembangan. Karena para pakar ilmu social telah terkontaminasi dengan kepentingan negara tanpa melihat hak-hak asasi perempuan yang harus juga dilindungi. Isu ini diperparah dengan adanya Pussat Studi Perempuan yang di dalangi oleh negara dan kemudian mengalami ketergantungan yang cukup lama. Kecenderungan perkembangan kajian gender dapat pula dievaluasi dalam perkembangan diskusi diberbagai universitas yang memperlihatkan dan pemerhati perkembangan kajian dan juga orientasi kajian-kajian gender.
[1] Abdullah, Irwan., DR. 2003. Humaniora Vol. XV.
[2] Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures.
[3] Moore, Henrieta, L. 1988. Feminism and Anthropology.
[4] Chafetz, Janet S. 1995. The Gender Division of Labour and Reproduction of Female, Gender Family and Economy.
[5] Berger, Peter and Luckman. 1990. Social Constraction of Realities.
[6] Lorbe, Judith. 1991. The Social Construstion of Gender.
[7] Gamble and Gamble. 2004. Communication Work.
0 comments:
Posting Komentar