Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Hak-Hak Seksual Dan Gender Belum Dapat Menjadi Prioritas Demokrasi

18.48 Posted In , , Edit This 0 Comments »

Oleh. Ari Kusuma Wardana & Bayu Setiawan


Di Indonesia yang katanya menganut asas demokrasi ini masih cenderung terjebak oleh mekanisme ketatanegaraan dan masih jauh mengakomodasi hak-hak seksual dan gender kelompok seksual minor. Demokrasi di Indonesia sendiri masih menjadi perbincangan yang cukup alot. Menurut Jurnalperempuan.com, di Indonesia ini masih banyak kelompok-kelompok fundamentalis yang berusaha menggunakan sarana-sarana demokrasi tetapi malah mematikan system demokrasi itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan pada kami adalah apakah kita masih dapat mempercayai demokrasi saat demokrasi di Indonesia tidak dapat melindungi hak-hak kaum minoritas termasuk masalah hak-hak seksual dan gender dalam komunitas minor? Memang demokrasi di Indonesia masih dipicikan oleh suara-suara mayoritas tanpa memperdulikan suara-suara minoritas.


Masih teringat dalam benak kami, di suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan beberapa bulan yang lalu, ada idiom yang mengatakan bahwa “demokrasi menjemukan namun seksualitas itu menggairahkan”. Idiom itu muncul karena adanya system domkrasi yang saat ini berjalan terjebak prosedural mekanisme ketatanegaraan yang mengakibatkan tertutupnya hubungan timbale-balik terhadap individu-individu. Disuatu negara sehingga menjadi terlupakan akan adanya hak-hak seksualitas dan gender. Padahal jika di tilik kembali asas demokrasi sendiri memiliki sikap relasi bebas dan setara. Artinya disini asas demokrasi sesungguhnya mendukung adanya kesetaraan gender dan hak-hak seksualitas setiap individu. Dalam mitologi Yunani disebutkan bahwa Pandora menitipkan suatu kotak kepada dewa Zeus. Dan isi kotak itu ternyata sesuatu yang membuat dewa Zeus ini enjoy. Akhirnya kita semua mengenal adanya istilah desire, enjoyment.


Sepengetahuan kami, demokrasi yang selama ini berjalan dibuat untuk tidak mengenal dua istilah tersebut atau yang sering kita sebut dengan citizen city. Artinya demokrasi dibuat atau dibentuk hanya untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik semata. Oleh sebab itu, masalah-masalah seksualitas dan gender di negara yang berasaskan demokrasi bukan suatu percakapan yang harus diutamakan. Dari perkembangan ilmu pengetahuan yang ada muncullah beberapa kritikan dari golongan-golongan feminis yang mengatakan bahwa demokrasi itu berjalan secara maskulin, dan hanya kekuasaan saja yang dipikirkan serta kurang peduli dengan hak-hak minoritas. Tetapi hal itu kemudian dibalas oleh penguasa asas demokrasi, bahwa sesungguhnya kaum feminis itu masih bertumpu pada heteroseksual yang dipandang mendiskriminasikan mereka yang homoseksual. Inilah ketidakadilan yang muncul ketika akan adanya revisi teori demokrasi.


Dalam benak saya (Ari KW), kaum Feminis dan Lesbianis sebetulnya masih sama-sama menganut asas essentialis atau dalam arti lain bahwa masih terdapat relasi seksual antara heteroseksual maupun homoseksual. Sehingga ujian akhir dalam masalah ini adalah ujian tertinggi yang diberikan pada semua yang sedang bergulir yaitu queer politik. Inti dari queer politik ini adalah tantangan bagi demokrasi mengharuskan mencapai tingkat kualitas yang radikal[*]. Selama ini asas demokrasi di Indonesia hanya mengenal satu nilai saja. Artinya satu nilai disini, yang dikenal oleh masyarakat awam tentang demokrasi di Indonesia hanya menggunakan nilai heteroseksual. Sehingga homoseksual hingga saat ini masih terus dicoba dan diapresiasikan di negara-negara barat. Hal yang sering didengar oleh telinga kita adalah kata Queer yang merupakan suatu jenis baru dalam pengujian apakah asas demokrasi ini cukup terbuka dengan hal yang baru, jenis dan pengalaman yang baru?



[*] Dikutip dari jurnalperempuan.com edisi Maret 2008

0 comments:

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search