Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Menyikapi Permasalahan Komunitas LGBT Di Indonesia (2): Pro-kontra Homoseksualitas Di Atas Kertas

21.22 Posted In , Edit This 1 Comment »

Oleh. Dian T Indrawan



Jika dilirik dan dipahami dari sudut pandang psikologi, homoseksualitas merupakan suatu bagian dari orientasi seksual yang dikembangkan oleh seseorang dan merupakan dari bagian yang kompleks secara biologis dengan nilai budaya dan agama yang berlaku dan atau dianut oleh seseorang(dikutip dari http://itha.wordpress.com). Seperti yang selama ini kita ketahui bahwa keberadaan komunitas LGBT di Indonesia selalu mendapat perhatian khusus baik dari media, penulis, producer film dan sebagainya. Karena keberadaannya masih cenderung tidak di akui dalam bidang kemasyarakat di Indonesia karena masih tergolong dalam pelanggaran terhadap norma-norma dalam masyarakat. Keberadaan homoseksual ini sudah ada sejak dahulu dan sifat homoseksual ini adalah universal, dan lazim dimiliki oleh setiap orang secara naluriah di mana saja, dan disepanjang masa. Yang perlu ditekankan bahwa permasalahan tentang komunitas LGBT di Indonesia bukanlah masalah yang hanya antara hitam dan putih saja tapi permasalahan yang kini ada adalah sangat kompleks. Artinya permasalahan ini tidak hanya berasal dari luar diri LGBT namun juga dari dalam komunitas LGBT itu sendiri.


Sesuai dengan penelitian saya tentang konstruksi identitas kaum LGBT di Indonesia, baiknya jangan ditanggapi secara naïf atau sekedar ya atau pun tidak, boleh atau tidak boleh. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pertama tadi bahwa permasalahan LGBT di Yogyakarta bahakan di Indonesia bukanlah masalah yang sederhana.sebab di Indoneia komunitas LGBT ini oleh sebagian masyarakat tidak hanya dipandang sekedar perbuatan zina tetapi diperparah dengan asumsi perbuatan bejat dalam komunitas tersebut. Komunitas LGBT yang ada masih diberi stempel buruk oleh masyarakat tentang keberadaan mereka yang sesungguhnya. Ungkapan ini sebenarnya lebih cocok ditujukan pada kaum essensial yang ada di Indonesia (tidak hanya kaum heteroseksual dan orang-orang yang ego-distonik). Jika menurut kata hati saya, saya sendiri tidak setuju jika terdapat pemikiran yang cenderung essensialis di mata masyarakat. Karena hal tersebut malah akan menambah keruh permasalahan yang ada. Saya hanya dapat berharap kepada masyarakat tentang pembahasan permasalahan komunitas LGBT yang sudah jelas bahwa komunitas ini masih terjadi penolakan dan penyangkalan akan keberadaan mereka. Namun permasalahan yang terjadi dari dalam diri komunitas sendiri sangatlah kompleks, mulai dari penggolongan-penggolongan kaum LGBT dari setiap komunitas.


Pernah ada yang mengeluh pada saya tentang komunitas-komunitas LGBT yang ada di Indonesia ini, ia berasal dari sebuah kabupaten di Yogyakarta yang mana paling parah ketika gempa terjadi beberapa tahun yang lalu. “Mas, sebenarnya ada nggak sih komunitas LGBT itu yang tidak mengharuskan untuk clubbing? Gimana mau clubbing, makan saja susah kok disuruh clubbing. Apa semua wadah untuk temen-temen LGBT tanpa harus clubbing, bukankah kegiatan yang lebih positif itu banyak?” dalam menyikapi pertanyaan seperti ini sebenarnya harus memiliki kearifan yang baik. Sebenarnya tidak semua komunitas LGBT itu suka dengan hura-hura dan untuk clubbing adalah hak asasi setiap person dalam komunitas tersebut. Jadi dalam hal ini kesimpulan yang dapat diambil bahwa komunitas yang dibangun bersama tidak ada paksaan dalam kemauan untuk clubbing atau pun kegiatan yang mengandalkan materiil semata.


Seharusnya dalam menyikapi hal ini masyarakat lebih arif, janganlah menghakimi komunitas LGBT secara sepihak dan memandang mereka sebelah mata. Saya masih melihat tentang masyarakat menyikapi hal ini secara berlebihan dan membuat keributan-keributan. Permasalahan yang sudah kompleks ini diperparah lagi dengan adanya UU dan Perda yang mengatur komunitas LGBT ini dengan sangat diskriminasi. Jika dilihat dari sejarah kebudayaan di Indonesia, komunitas LGBT terutama komunitas Gay telah melekat sejak zaman dahulu. Seperti yang pernah kita dengar nama Warok dan Gemblakan yang ada di Ponorogo. Sekali lagi saya rasa permasalahan yang ada tentang LGBT ini tak kan beranjak jauh dari teori nature vs nurture, dimana masyarakat masih saja memandang komunitas LGBT ini meyalahi kodrat alami manusia dengan berhubungan sesama jenis, namun di sisi lain secara sosial dan budaya keberadaan mereka memang diakui sebagai ‘hasil’ dari adanya perubahan sosial dan budaya.


Yang masih ku pertanyakan dalam pikiranku adalah “bukankah Indonesia ini Negara yang menjunjung tinggi kebinekaan? Mengapa hak asasi manusia yang terdapat dalam diri komunitas LGBT sendiri belum dapat diterima? Bukankah LGBT itu berada dalam satu bagian dengan unsur kebinekaan itu sendiri?“ yang harus menjadi perhatian kita semua adalah seharusnya ajaran agama dan norma dalam masyarakat hanya sebatas pengatur saja bukan lagi dijadikan sebagai pembatas hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh komunitas LGBT di Indonesia.

1 comments:

Lasma Manullang mengatakan...

Setuju. LGBT ga bisa disikapi seperti kasus pembunuhan. Saya pribadi tidak setuju dengan LGBT, tapi tidak adil pula jika mereka dijauhi dan dikucilkan. Mereka bukan kotoran yang harus dibuang ke tempat sampah.

Justru barang berharga yang ditutupi kotoran yang harus dibersihkan.

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search