Matari Welcome

Selamat Datang di Matari sehati Yogyakarta

Berfikir Kembali Akan Masalah Gender Dan Seksualitas: Seks Merupakan Suatu Bentukan Sosial

18.38 Posted In Edit This 1 Comment »

Oleh. Dian T Indrawan[1]

Perdebatan tentang gender di Indonesia telah menjadi industri besar bagi dunia pendidikan, namun akan lebih menarik lagi jika kita mulai berbicara mengenai seksualitas yang hingga kini masih dipandang tabu jika diperbincangkan. Hal ini dikarenakan masih jarang adanya perbincangan-perbincangan mengenai hal tersebut. Dari pandangan essensialism mengatakan bahwa seksualitas meruapaka suatu pemeberian, tidak dapat diubah atau berubah, asosial, transhistoris dan menganggap heteroseksualitas merupakan satu-satunya bentuk seksualitas yang sah. Sedangkan yang lain merupakan suatu penyimpangan seksual yang oleh masyarakat nyaris tidak dipertanyakan kebenaran hal tersebut.

Dalam tulisan ini sebenarnya akan memberikan kesempatan kita dalam menembus semua ideologi dan batasan diskursif seksualitas di Indonesia. Sebenarnya seksualtas sendiri memiliki wilayah politik sendiri, ketidakadilan akan gender dan ruang untuk menindasnya pun jua sendiri. Dalam pemakaian teori pendekatannya sendiri, dalam membahas seksualitas ini tidak cukup dengan menggunakan pendekatan-pendekatan konvensional. Dalam pendekatan feminism, telah berhasil bahkan sukses besar dalam menjelaskan ketidak adilan gender antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dalam teori pendekatan feminism kurang berhasil dalam hal mengkomunikasikan dan membahas tentang masalah seksualitas. Walaupun didalam pendekatan-pendekatan konvensional juga membahas seksualitas akan tetapi konteks pembahasannya hanya terpaku pada heteronormatif. Dimana heteroseksual merupakan suatu hal yang sah, tidak dipertanyakan serta suatu hal yang tidak dapat dirubah maupun berubah.

Jika kita bahas lebih dalam lagi, kebutuhan yang sangat mendesak untuk membuka satu perdebatan dan perspektif yang radikal adalah pembahasan mengenai seksualitas. Oleh karena itu dalam penulisan ini saya lebih suka menggunakan teori pendekatan Queer yang lebih mengeksploitasi pemikiran-pemikiran Foucault dan Butler. Dimana pemikiran mereka dianggap sebagai kontributor penting dalam kajian seksualitas daripada kajian konvensional seperti feminisme atau marxisme. Dalam pemikiran Foucault dan Butler menjelaskan bahwa seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial dan bukan fakta kromosom-biologis. Pemikiran mereka juga menggugat pandangan ortodok teoritis tentang seksualitas yang dari pandangan tersebut seluruh prinsip-prinsipnya didasarkan pada essenialisme seksual. Pada pemikiran Foucault sendiri seksualitas merupakan salah satu tema besar yang banyak didiskusikan dan dibicarakan. Menurutnya seksualitas merupakan suatu akibat praktek disiplin[2]. Hal tersebut membuat Foucault membongkar kebekuan fondasi rezim heteroseksualitas yang univokal, yang dalam wacana-wacana yang dominan dianggap sebagai the norm, the logos, mathesis universalis atau the essence of human being (Moh. Yasir, 2005:5).

Pembahasan secara lebih luas, Foucault sendiri menjelaskan bahwa seksualitas seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah, atau suatu wilayah rahasia yang harus diungkap dan ditemukan pengetahuan secara bertahap. Artinya sesuatu nama yang terbentuk secara historik dan bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan sebuah jaringan besar yang didalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain[3] (Foucault, 1998:105-106). Dalam pandangan Foucault terdapat lima unitas strategi yang selama ini digunakan dalam melipatgandakan diskursus tentang pembahasan seksualitas. Yang pertama, diseminasi gagasan tentang keharusan manusia yang hanya punya satu jenis kelamin atau seks yang jelas. Artinya bahwa seseorang disini harus memiliki satu gender, satu jenis kelamin dan menurut strategi yang pertama ini tidak ada dan tidak boleh mencampurkan kedua jenis kelamin bahkan gender. Hal ini sangat mengejutkan para komunitas intersex di kebudayaan barat. Yang kedua, sosialisasi perilaku prokreatif. Berlawanan dengan diskursus seksualitas Yunani dan Roma kuno, seksualitas Barat modern abad XIX, lebih diorientasikan pada tujuan-tujuan prokreatif, bukan kesenangan.

Pada konsep strategi yang kedua ini Foucault beranggapan bahwa model strategi ini sebagai scientia sexualis, sedangkan seksualitas Roma kuno yang berorientasi pada kesenangan semata. Yang ketiga, psikiatrisasi kesenangan. Strategi ini bekerja dengan mempatologikan semua bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip “seksualitas prokreatif yang normal”. Karena dalam hal ini seperti onani, masturbasi dan homoseksualitas yang merupakan sumber dari kesenangan erotis dianggap sebagai perilaku tidak normal. Mengapa hal seperti ini dapat terjadi? Alasan yang dapat diterima logika adalah karena praktek-praktek seksual nonprokreatif ini memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan terhadap berbagai macam penyakit. Inilah bedanya seksualitas Barat modern dan Yunani kuno, dimana homoseksualisme, onanisme dan masturbasi tidak ditolak berdasar kategori “normal” atau “abnormal” (Foucault, 1986:45) melainkan berdasar kuantitasnya, yaitu tidak boleh kalau berlebihan.

Keempat, histerisasi tubuh perempuan. Maksud dalam strategi ini adalah tubuh feminin “dianalisa”, “diintegrasikan ke wilayah praktek medis karena penyakit yang melekat padanya”, dan akhirnya ditempatkan dalam “komunikasi organik dengan tubuh sosial.” Disinilah seksualitas perempuan dikonstitusikan sebagai sebuah sentral identitas, perempuan adalah biologi dan seksualitas adalah inti dari biologi. Dalam konteks ini, definisi tentang seksualitas diperluas. Bukan sekedar “having sex” melainkan juga meliputi pengalaman-pengalaman masturbasi, kehamilan, kelahiran dan menopause. Yang terakhir, pedagogisasi seksualitas anak. Dalam strategi ini, praktek seksualitas anak yang “potensial bahaya”, diatur sedemikian rupa karena dikhawatirkan dapat mendatangkan “kerusakan fisik dan moral, individu dan kolektif” (Moh. Yasir, 2005:7). Lima strategi di atas berfungsi sebagai kaitan satu dengan yang lainnya bersifat interaksional yang diarahkan untuk pengaturan dan penyebaran sexual pleasure, self control, resistance and combat (Grace, 1993:106).

Yang lebih menarik lagi pada pandangan Foucault ini adalah penegasan Foucault bahwa psikoanalisa merupakan metamorfose “konfesi”. Mengapa dapat seperti ini? karena psikoanalisa, seperti halnya konfesi pada gereja, digunakan untuk membongkar kesenangan-kesenangan tersembuny, ekses-ekses tubuh yang berbahaya; hakekat personal manuasia, inti identitas personal dan kebenaran tentang diri[4]. Melalui strategi diskursif inilah heteroseksualitas, bentuk seksualitas yang berorientasi prokreasi, diinternalisasi, dinaturalisasi, sedangkan bentuk lain dipatologikan dan diabnormalkan. Seolah-olah heteronormativitas adalah satu-satunya formasi seksual yang mengatur kehidupan manusia, kapanpun dan dimanapun. Tentu saja, ini menyembunyikan realitas dan relativitas kompleks dibalik seksualitas (Moh.Yasir, 2005:7-8).

Di awal tahun 1990-an Butler mengubah pandangan pada dunia tentang seksualitas dengan mengembangakan ilmu pengetahuannya. Butler menegaskan bahwa gender atau seksualitas adalah “struktur imitatif, pengulang-ulangan dan performativitas.” Konsep “performativitas” memang terpusat dalam pemikirannya. Butler meminjam konsep ini dari teori sastra yang mangkategorikan menjadi dua makna; yaitu konstantif dan performatif. Makna konstantif adalah berita atau ekspresi, sedangkan perfomatif adalah makna yang membentuk kenyataan. Menurut Butler, tidak ada identitas gender dibalik ekspresi gender. Identitas dibentuk secara performatif; diulang-ulang hingga tercapai “identitas yang asli”(Butler, 1999: 25). Baginya, gender atau seksualitas itu seperti drag, yaitu lomba kecantikan yang dilakukan para waria untuk membuktikan bahwa mereka adalah wanita yang sempurna[5]. Demikian juga bentuk orientasi seksual yang heteroseksual, bentuk seksualitas jenis heteroseksual ini direproduksi melalui serangkaian tindakan, gesture, dan hasrat yang diartikulasikan yang dilaksanakan sehingga menciptakan suatu ilusi tentang adanya inti gender yang asli dan alamiah (Ibid, pg.136).

Butler mengidentifikaksi beberapa integritas struktural yang selama ini digunakan untuk mengabadikan, dan mengalamiahkan heteroseksualitas. Diantaranya adalah “materialitas sex” dan “keharusan koherensi antara gender dan identitas seksualitas.Untuk menjelaskan konsepnya ini, Butler melakukan dekonstruksi terhadap pengertian gender dan seks yang dipikirkan feminisme. Dalam pandangan feminis, ditegaskan bahwa gender adalah konstruksi sosial, sedangkan “sex” adalah sebuah fenomena biologis yang tidak bisa diubah. Akan tetapi Butler sendiri memiliki pendapat lain dengan hal yang satu ini. Baginya seks adalah kontruk ideal yang termaterialisasikan secara paksa melalui waktu (Butler, 1993:13). Melalui dekonstruksi terhadap “sex” dan mendemonstrasikan batas diskursifnya, Butler bermaksud mengusung konsep “termaterialisasikannya tubuh” melampaui konsep “terkonstruksinya seksualitas” sebagaimana dipikirkan Foucault. Tubuh ini, menurutnya, bukan sekedar plat yang kemudian diatasnya dibentuk gender dan seksualitas. Dua unsur itu dimaterialkan menjadi tubuh.

Secara bersama-sama, gender dan seksualitas berinteraksi untuk menentukan suatu isi dan batas maskulinitas dan feminitas, dan juga membentuk relasi gender dengan menetapkan kondisi dimana orang dengan beragam gender berinteraksi. Pada awalnya mempunyai preferensi seksual memerlukan produksi sosial gender sebagai kategori yang bermakna karena seksualitas sangat terikat dengan proses diferensiasi gender. Kecenderungan bahwa orang akan membentuk hubungan heteroseksual terletak pada konstruksi sosial praktek dan kategori gender yang hirarkis dan dikotomis (Butler,1990:17).

Refrensi Bacaan :

-----------------(1993) Bodies that Matter, On the Discursive Limits of sex, London: Routledge.

-----------------(1991) Immitation and Gender Insubordination in Fuss, Diana(ed.)

---------------- and Joan W. Scott(eds.)(1992) Feminists theorize the political, New York : Routledge

--------------------- (1997) Discipline and Punish: The Birth of The Prison, London: AllenLane

----------------------(1988) The History of Sexuality I, Middlesex: Penguin

----------------------(1986) The History of Sexuality II, Middlesex, Penguin

----------------------(1986) The History of Sexuality III, Middlesex, Penguin

Butler, Judith (1999) Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, London: Routledge.

McHoul, Alec and Wendy Grace (1993) A Foucault Primer: Discourse, Power and The Subject, Melbourne: Melbourne University

Weedon, Chris (1998) Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Monash; Monash University Press

Yasir, Moh. 2005.Artikel : Orientasi Seks dalam Prespektif Gender. Jakarta



[1] Penulis aktif diblog http://matarisehatiyogyakarta.blogspot.com, penulis buku tentang homoseksualitas, dan sebagai ketua program konseling matari sehati Yogyakarta.

[2] Praktek disiplin yang cukup memusat dalam pikiran Foucault adalah tempat bertemunya pengetahuan dan kuasa. Kuasa memproduksi pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan memproduksi power. Sangat tidak mungkin membayangkan pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya.

[3] Sexuality must not be thought of as a kind of natural given which power tries to hold in check, or as an obscure domain which knowledge tries gradually to uncover. It is the name that can be given to a historical construct: not a furtive reality that is difficult to grasp, but a great surface network in which the stimulation of bodies, the intensification of pleasures, the incitement to discourse, the formation of special knowledge, the strengthening of controls and resistances, are linked to one another.

[4] Dari contoh psikoanalisa tersebut, kita dapat mengambil sikap pemikiran bahwa masyarakat Barat modern telah merubah dan mentransformasikan konfesi dari sekedar “sebuah ritual keagamaan” menjadi “teknik” dan “kekuatan penggerak” dalam produksi ideologis kebenaran tentang seksualitas. Bahkan, konfesi telah menjadi demikian luas dan dimana-mana. Ia tidak hanya menjadi milik gereja, tetapi juga psikologi, psikiatri dan ilmu kedokteran. Dari sinilah Foucault (1988: 59) berkesimpulan bahwa kita telah menjadi “confessing society” yang luar biasa. Seakan-akan, konfesi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan modern. Selengkapnya, Foucault (1988: 59) menulis; “Karena itulah kita telah menjadi masyarakat berkonfesi yang luar biasa. Konfesi telah menyebar begitu jauh dan luas. Ia bermain dalam wilayah sistem hukum, kedokteran, pendidikan, hubungan keluarga, hubungan cinta, kehidupan sehari-hari, dalam sebagian besar upacara, kejahatan, dosa, pemikiran dan nafsu.

[5] Pada bagian tulisan ini hanya sebagai permisalan saja dan bukan bermaksud untuk menjudge komunitas waria. Baik yang ada di Yogyakarta maupun secara nasional.

1 comments:

Anonim mengatakan...

tulisan yg bagus! bacaan yg terpelajari dg baik! selamat!

Matari Facebook

Profil Facebook Matari Sehati Yogyakarta

Matari Search

Custom Search